Bprnews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengambil alih pengelolaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Mojo Artho di Kota Mojokerto. Langkah ini diambil setelah jajaran pimpinan direksi sebelumnya dinonaktifkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) karena tidak mampu menyehatkan keuangan BPRS tersebut.
Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setdakot Mojokerto, Ruby Hartoyo, menjelaskan bahwa sejak OJK menyerahkan pengelolaan ke LPS pada Jumat (12/1), pimpinan direksi BPRS Mojo Artho telah dirombak.
“Seluruh jajaran pimpinan, mulai dari komisaris hingga senior executive, dinonaktifkan oleh LPS.” tandasnya
Terkecuali bagi karyawan BPRS Mojo Artho. Sebab, kata Ruby, masing-masing akan tetap dipekerjakan sebagaimana biasanya. Sebab, LPS hanya mengambil alih terkait penggelolaan hingga beberapa waktu ke depan.
’’Pegawai-pegawai tetap berjalan seperti biasanya, cuma pengelolaannya yang diambil alih oleh LPS,’’ jelas dia.
Ruby menegaskan bahwa meskipun jajaran pimpinan direksi diganti, karyawan BPRS Mojo Artho tetap akan tetap dipekerjakan seperti biasa. LPS hanya mengambil alih pengelolaan bank tersebut untuk sementara waktu.
BPRS Mojo Artho, yang merupakan perseroan daerah milik Pemerintah Kota Mojokerto, menghadapi kesulitan keuangan yang signifikan. Status bank ini dirombak setelah OJK menetapkan bank sebagai bank dalam resolusi (BDR) pada 12 Januari 2024, mengakhiri status sebelumnya sebagai bank dalam penyehatan (BDP).
’’Pegawai-pegawai tetap berjalan seperti biasanya, cuma pengelolaannya yang diambil alih oleh LPS,’’ jelas dia.
LPS akan mengelola BPRS Mojo Artho selama 120 hari ke depan. Selama periode tersebut, LPS akan menyelidiki semua permasalahan yang ada di dalam BPRS Mojo Artho.
Setelah itu, LPS akan melakukan evaluasi untuk menentukan langkah selanjutnya terkait nasib BPRS tersebut, apakah akan disehatkan, dilikuidasi, atau izinnya dicabut.
Ruby menyatakan bahwa semua keputusan terkait BPRS Mojo Artho saat ini menjadi kewenangan LPS, dan pihak Pemerintah Kota Mojokerto tidak dapat melakukan intervensi.
’’Semua sudah menjadi kewenangannya LPS, kita dari pemkot juga tidak bisa melakukan intervensi,’’ sebut Ruby.
Bank ini juga sedang diusut oleh korps Adhyaksa atas dugaan kasus korupsi yang telah menyeret dua orang tersangka.
Seperti diketahui, BPRS Mojo Artho telah ditetapkan sebagai BDR atau sebelumnya dikenal dengan bank gagal.
Peningkatan status oleh OJK tersebut menyusul telah berakhirnya status bank dalam penyehatan (BDP) per 12 Januari 2024.
Mengacu Undang-Undang 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa status BDR disematkan karena bank dinilai mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan oleh OJK sesuai kewenangannya.
Tingginya kredit macet membuat cash flow di BPRS Mojo Artho macet. Akibatnya, kondisi itu berdampak terhadap para nasabah yang kesulitan menarik dana deposito meski telah jatuh tempo.
Apalagi, bank yang beralamat di Jalan Mojopahit, Kota Mojokerto ini juga masih terus diusut oleh korps Adhyaksa atas dugaan kasus korupsi yang telah menyeret dua orang tersangka.
Bprnews.id - Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi (Diskop Ukm Nakertrans) Kabupaten Jepara telah melakukan penilaian kesehatan terhadap koperasi di wilayah tersebut. Hasil penilaian menunjukkan bahwa ada tiga koperasi yang saat ini berstatus dalam pengawasan.
Kepala Diskop Ukm Nakertrans Jepara, Samiadji, mengungkapkan bahwa klasifikasi koperasi dibagi menjadi empat kategori, yaitu koperasi sehat, cukup sehat, dalam pengawasan, dan dalam pengawasan khusus.
Penilaian kesehatan ini menjadi dasar untuk merancang kebijakan pembinaan dan penerapan sanksi pada koperasi-koperasi yang dinilai.
''Kami terus melakukan penilaian kesehatan meskipun terbatas anggarannya,'' beber Samiadji, Minggu (14/1/2024).
Aspek-aspek yang dinilai untuk menentukan kesehatan koperasi meliputi permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, efisiensi, likuiditas, kemandirian dan pertumbuhan, serta jatidiri koperasi.
Jika beberapa aspek tersebut tidak terpenuhi, maka status kesehatan koperasi dapat bergeser ke kategori cukup sehat, dalam pengawasan, atau bahkan dalam pengawasan khusus.
Pada tahun 2023, Diskop Ukm Nakertrans Jepara telah melakukan pengawasan terhadap 51 koperasi dari total 337 koperasi yang aktif di Jepara.
Pengawasan ini akan dilanjutkan pada tahun 2024 untuk memastikan kondisi seluruh koperasi aktif dan memberikan keamanan kepada masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
Dari 51 koperasi yang telah diawasi, Samiadji mencatat bahwa tiga di antaranya, yaitu Koperasi Asy Syarif, Koperasi Agung Rahayu, dan Koperasi Daya Mina, berada dalam status pengawasan.Tidak ada koperasi yang sampai pada status pengawasan khusus.
''Sejauh ini belum ada penilaian yang sampai dalam pengawasan khusus,'' terangnya.
Dari hasil pengawasan tersebut, hanya empat koperasi yang dinyatakan sehat, sedangkan 44 koperasi lainnya dikategorikan sebagai cukup sehat,
Samiadji juga menambahkan bahwa meskipun terdapat 707 koperasi yang terdaftar di Jepara, namun 370 di antaranya tidak aktif. Volume usaha dari koperasi-koperasi di Jepara mencapai Rp 1,399 triliun.
Evaluasi kesehatan koperasi menjadi langkah penting dalam memastikan keberlanjutan dan kontribusi positif terhadap perekonomian lokal.
Bprnews.id - BPR Aceh Utara mengalami kebangkrutan yang berujung pada pengambilalihan pengelolaan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mulai 12 Januari 2024. Aksi ini dilakukan karena bank milik Pemerintah Kabupaten Aceh Utara tersebut kekurangan modal untuk menjalankan usahanya. operasionalnya sehingga mengakibatkan bangkrut seperti yang diumumkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Aceh.
Informasi tersebut diungkapkan Penjabat Bupati Aceh Utara Mahyuzar kepada Serambi di Banda Aceh pada Minggu, 14 Januari 2024.
Menurut Mahyuzar, LPS telah mengambil alih BPR Aceh Utara dan seluruh kegiatan dibekukan, termasuk peran BPR Aceh Utara, komisaris dan direksi.
Meski telah dilakukan pengambilalihan, Mahyuzar menyebutkan aktivitas perbankan tetap berjalan seperti biasa di bawah pengelolaan LPS. Dia menjelaskan, kesehatan keuangan BPR Aceh Utara sudah lama terpuruk. Bank konvensional memerlukan suntikan dana dari Bank Aceh Syariah untuk tumbuh dan bertransformasi menjadi lembaga syariah.
“Jadi manajemen keuangan di BPR sudah lama menurun, sedangkan bank ini tidak ada modal untuk berkembang, dan bank ini juga salah satu bank yang masih konvensional di Aceh,” ujarnya.
Pengelolaan keuangan BPR telah mengalami kemunduran selama beberapa waktu, dan bank tersebut kekurangan modal untuk pengembangan. Tercatat BPR Aceh Utara merupakan salah satu bank konvensional yang ada di Aceh.
Pada masa Pj Bupati Azwardi, Pemerintah Daerah Aceh Utara selaku Pemegang Saham Pengendali (SPS) telah mengusulkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) agar Bank Aceh Syariah memberikan dukungan finansial kepada BPR Aceh Utara.
Tujuannya adalah untuk memulihkan kesehatan BPR dan memungkinkan transformasi menjadi lembaga yang sesuai dengan syariah. Sayangnya arahan tersebut baru ditindaklanjuti Bank Aceh Syariah sehari sebelum batas waktu yang ditetapkan OJK Aceh pada 12 Januari 2024.
Dana yang diajukan awalnya sebesar Rp 1,8 miliar namun meningkat menjadi Rp 3,6 miliar karena tidak disetujui tepat waktu. Saat ini, untuk melanjutkan rencana tersebut, diperlukan tambahan dana sebesar Rp 6 miliar karena situasi keuangan yang terus negatif.
Mahyuzar mencontohkan, seharusnya Bank Aceh Syariah tahun sebelumnya sudah menyampaikan surat ke OJK Aceh yang menyatakan ketidakmampuan mereka membantu karena BPR masih berstatus konvensional. Hal ini akan memberikan waktu bagi OJK untuk menanggapi surat tersebut.
“Sebab isi surat Bank Aceh menyebutkan bahwa Bank Aceh tidak bisa melaksanakan perintah RUPS, dengan alasan karena di qanun dan aturan OJK menjelaskan bahwa bank syariah tidak boleh membantu bank konvensional,” ungkap Mahyuzar.
Mahyuzar menyatakan ketidakpuasannya terhadap pendekatan Bank Aceh dan menyatakan bahwa Pemerintah Daerah Aceh Utara akan membicarakan lebih lanjut masalah tersebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRK) untuk mencari solusi. Menurutnya, bantuan Bank Aceh kepada BPR Aceh Utara belum ditanggapi dengan serius.
Bprnews.id - GandengTangan berkolaborasi dengan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jawa Timur untuk memaksimalkan pendanaan produktif bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dari berbagai sektor. Setelah satu tahun berkolaborasi dengan BPR Prima Kredit Utama dan BPR Bank Jombang, GandengTangan menargetkan menyalurkan dana sebesar Rp 55 miliar untuk UMKM di Jawa Timur pada tahun 2024.
Pada tahun 2023, GandengTangan berhasil meraih kinerja positif di Jawa Timur dengan total penyaluran dana melebihi Rp 40 miliar atau meningkat 400% dibandingkan tahun sebelumnya.
Pembiayaan yang diberikan Gandeng Tangan telah memberikan manfaat bagi lebih dari 11 ribu pengusaha mikro yang tersebar di kota-kota seperti Surabaya, Jember, Kediri, Mojokerto, Ponorogo, dan Blitar. Sektor yang dominan meliputi perdagangan grosir dan eceran, serta jasa pribadi yang melayani rumah tangga.
Jezzie Setiawan, CEO GandengTangan menjelaskan, “Berdasarkan catatan kami selama 2023, semangat UMKM di Jawa Timur dalam meningkatkan bisnisnya cukup kuat dibandingkan wilayah lain. Di GandengTangan, kami komitmen terus memperkuat kemitraan dengan para lender institusi, termasuk oleh perusahaan modal ventura dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Indeks literasi dan inklusi keuangan di Jawa Timur sudah menunjukkan perbaikan. Pada tahun 2022, indeks melek huruf sebesar 55,32%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 49,68%, dan angka inklusi keuangan mencapai 92,99%, melampaui angka nasional sebesar 85,10%.
Khusus di Jombang, pertumbuhan UMKM mengalami peningkatan sebesar 42,13% sepanjang tahun 2022, terutama pada sektor perdagangan. BPR Jombang sebagai pengelola dana desa berkomitmen memberikan kemudahan layanan kepada para pengusaha, termasuk pendidikan platform digital.
Afandi Nugroho, CEO Bank Jombang, mengakui peningkatan pertumbuhan bisnis di Jawa Timur dan menyadari peran penting yang dimainkan oleh peer-to-peer lending dalam mendukung ekspansi mereka. Kerjasama dengan GandengTangan dinilai saling menguntungkan dengan menyumbang total penyaluran dana sebesar Rp 750 miliar, termasuk melalui P2P lending.
GandengTangan, sebagai perusahaan berbasis di Surabaya yang bergerak di bidang perdagangan komoditas, telah membantu Bumi Kita Pertiwi dalam mendapatkan pendanaan untuk pengembangan bisnis berkelanjutan sejak tahun 2012. CEO Edwin Yanee mengucapkan terima kasih atas dukungan tersebut dan menyebutkan rencana ekspansi bisnis lebih lanjut di tahun 2024. termasuk penambahan sumber daya seperti porang dan pengembangan kopra di Indonesia Timur.
GandengTangan, perusahaan peer-to-peer lending yang berizin dan diawasi OJK, telah menjangkau UMKM di Jawa, Bali, Bengkulu, Sulawesi, dan Kalimantan Timur, dengan lebih dari 25 ribu penerima dana. Pada tahun 2023 saja, perusahaan mengucurkan lebih dari Rp 174 miliar, menawarkan pinjaman dengan limit hingga Rp 2 miliar kepada UMKM yang memenuhi syarat berdasarkan kriteria analisis risiko.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa masih terdapat sejumlah bank pembangunan daerah (BPD) yang kekurangan modal untuk memenuhi aturan modal inti minimum sebesar Rp3 triliun pada akhir tahun ini. Berdasarkan Peraturan OJK No.12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum, BPD diberikan tenggat waktu sampai akhir tahun 2024 untuk memenuhi modal inti minimum tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyatakan bahwa saat ini terdapat 11 BPD yang belum memenuhi aturan modal inti minimum sebesar Rp3 triliun. OJK terus mendorong pemenuhan modal inti minimum oleh ke-11 BPD ini dengan tenggat waktu hingga 31 Desember 2024.
"Sampai dengan saat ini, sesuai laporan yang diterima OJK, ada dua BPD yang telah memiliki rencana untuk memenuhi modal inti minimum melalui setoran secara mandiri, sedangkan sembilan BPD lainnya berencana untuk membentuk KUB [kelompok usaha bank] dengan perusahaan maupun bank induk lainnya," ujar Dian dalam jawaban tertulis pada beberapa waktu lalu (11/1/2024).
Dari 11 BPD yang belum memenuhi aturan modal inti minimum, dua diantaranya telah memiliki rencana untuk memenuhi modal inti minimum melalui setoran secara mandiri. Sementara sembilan BPD lainnya berencana membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB) dengan perusahaan atau bank induk lainnya. Melalui KUB, bank-bank kecil yang bergabung di dalam satu bank besar sebagai induknya memiliki kemungkinan hanya perlu memenuhi modal inti minimum sebesar Rp1 triliun.
Dian menjelaskan bahwa progres pembentukan KUB oleh sembilan BPD saat ini masih berjalan sesuai dengan rencana. Sampai dengan akhir tahun 2023, sebagian besar bank daerah tersebut telah mencapai tahap penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) pembentukan KUB.
NO |
Nama Bank |
Modal Inti Per 30 September 2023 |
Modal Inti Per 30 September 2022 |
1 |
Bank SulutGo |
Rp1,75 triliun |
Rp1,59 triliun |
2 |
Bank Maluku Malut |
Rp1,55 triliun |
Rp1,49 triliun |
3 |
Bank Sultra |
Rp1,62 triliun |
Rp1,44 triliun |
4 |
Bank Sulteng |
Rp1,26 triliun |
Rp1,21 triliun |
5 |
Bank NTT |
Rp2,23 triliun |
Rp2,19 triliun |
6 |
Bank NTB Syariah |
Rp1,61 triliun |
Rp1,44 triliun |
7 |
Bank Kalteng |
Rp2,54 triliun |
Rp1,83 triliun |
8 |
Bank Kalsel |
Rp2,56 triliun |
Rp2,02 triliun |
9 |
Bank Banten |
Rp1,21 triliun |
Rp1,34 triliun |
10 |
Bank Lampung |
Rp1,27 triliun |
Rp1,2 triliun |
11 |
Bank Bengkulu |
Rp1,26 triliun |
Rp945,21 miliar |
12 |
Bank Jambi |
Rp2,28 triliun |
Rp1,87 triliun |