bank umum


Bank Dunia Peringatkan Efek Samping Sekuritas Rupiah BI terhadap 'Kantong' Pemerintah

Standard Post with Image

BPRNews.id - Bank Dunia mengeluarkan peringatan mengenai efek samping penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dalam laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2024. Menurut laporan tersebut, SRBI memiliki dampak yang tidak diinginkan terhadap pinjaman pemerintah.

"Sebagai instrumen yang memberikan imbal hasil lebih tinggi, SRBI tampaknya membatasi pinjaman pemerintah," tulis Bank Dunia dalam laporannya yang dikutip pada Rabu (26/6/2024).

Bank Dunia menjelaskan bahwa bank-bank komersial cenderung mengurangi kepemilikan mereka atas surat berharga pemerintah dan beralih ke SRBI yang menawarkan imbal hasil lebih menarik. Antara September 2023 dan Februari 2024, kepemilikan bank umum atas obligasi pemerintah turun dari 30,4% menjadi 25,6% dari total saldo beredar.

Untuk mengatasi penurunan ini, Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi di pasar sekunder dengan membeli surat berharga pemerintah, meningkatkan kepemilikannya dari 16,2% menjadi 20,7%.

"Untuk mencegah crowding out lebih lanjut, BI sementara waktu mengurangi volume penerbitan SRBI hingga setengahnya, dari Rp 49,4 triliun menjadi Rp 25,6 triliun antara Februari dan Maret 2024," tambah laporan Bank Dunia.

Bank Dunia juga mencatat risiko lain, termasuk potensi mengusir investor ekuitas asing yang menghadapi risiko kredit lebih tinggi namun kurang menarik. Arus keluar ekuitas dari bursa Indonesia terlihat pada April hingga Juni.

Pada kuartal pertama 2024, investor non-residen atau asing memegang sekitar 22% dari total SRBI yang beredar, sementara sisanya dimiliki oleh bank-bank komersial dalam negeri. Namun, dengan pengetatan kondisi moneter global, investor asing mulai menjual kepemilikan SRBI mereka, menurunkan pangsa kepemilikan asing menjadi 18% pada akhir April 2024.

Sebagai respons, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25%. Kenaikan ini diikuti oleh peningkatan bunga SRBI 1 tahun sebesar 500 basis poin menjadi 7,5% pada awal Mei. Selisih imbal hasil SRBI 1 tahun dibandingkan dengan Surat Berharga Negara (SBN) 1 tahun yang hanya 6,8% semakin menarik investor.

Untuk menarik lebih banyak arus masuk portofolio, BI memutuskan untuk melelang SRBI lebih sering, dari sekali menjadi dua kali seminggu. Upaya ini membuahkan hasil dengan arus masuk asing sebesar Rp 81,6 triliun pada SRBI dan peningkatan porsi kepemilikan asing menjadi 27% dari total SRBI pada Mei 2024.

Bank Indonesia merilis SRBI sebagai respons terhadap siklus pengetatan suku bunga Federal Reserve AS yang dimulai pada 2022. SRBI dirancang untuk menarik aliran portofolio dengan imbal hasil yang lebih tinggi. Pada kuartal ketiga 2023, imbal hasil US Treasury 10 tahun mencapai angka tertinggi dalam 16 tahun, mendorong spread imbal hasil Indonesia dan US Treasury ke titik terendah dalam sejarah.

"Ini memicu arus keluar portofolio dalam jumlah besar, mencapai 0,3% dari PDB pada periode tersebut, yang kemudian menekan cadangan devisa dan mata uang," jelas Bank Dunia.

Sebagai langkah untuk menghadapi tantangan ini, BI memperkenalkan SRBI pada September 2023. SRBI menggantikan operasi twist yang sebelumnya dilakukan oleh BI dan bertujuan untuk meningkatkan perbedaan imbal hasil terhadap obligasi pemerintah AS.

SRBI adalah instrumen Operasi Pasar Terbuka (OMO) yang memiliki mandat ganda: menyerap kelebihan likuiditas dan menarik aliran portofolio untuk menjaga stabilitas mata uang dan buffer eksternal. SRBI berhak dimiliki oleh bukan penduduk dan menawarkan jangka waktu yang lebih pendek dibandingkan obligasi negara, yakni 6, 9, atau 12 bulan. Imbal hasil SRBI secara konsisten lebih tinggi dibandingkan obligasi negara (SBN), misalnya pada lelang awal Mei 2024, SRBI tenor 1 tahun menawarkan imbal hasil 7,5% dibandingkan 6,7% pada SBN tenor 1 tahun.

 

Share this Post:

TERBARU

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by BPR News