REGULATOR


OJK: Masih Ada 21 Perusahaan Asuransi dan Reasuransi Tanpa Aktuaris

Standard Post with Image

Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa masih terdapat 21 perusahaan asuransi dan reasuransi yang belum memiliki aktuaris. Dari jumlah tersebut, dua perusahaan merupakan asuransi jiwa, sementara 19 lainnya adalah perusahaan asuransi umum dan reasuransi. Meskipun demikian, angka ini menunjukkan tren positif dibandingkan dengan data per 9 Oktober 2023, di mana terdapat 27 perusahaan yang belum memiliki aktuaris.

“Ini menunjukkan tren positif dari tahun-tahun sebelumnya, khususnya pada industri asuransi umum dan reasuransi,” ungkap Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, dalam keterangan tertulisnya pada Senin (26/2/2024).

OJK menegaskan akan terus memantau pemenuhan ketentuan ini, terutama dalam rangka implementasi PSAK 117 (sebelumnya dikenal sebagai PSAK 74), di mana peran aktuaris sangat penting dalam berbagai aspek bisnis perusahaan. Penerapan PSAK 117 dijadwalkan akan efektif mulai 1 Januari 2025 dengan tujuan memperbandingkan laporan keuangan perusahaan asuransi baik antar perusahaan maupun antar industri.

Hingga saat ini, OJK mencatat bahwa 96% perusahaan asuransi jiwa telah memiliki aktuaris pada level Fellow Society of Actuaries of Indonesia (FSAI) dengan total FSAI mencapai 240 orang. Di sisi asuransi umum dan reasuransi, sebanyak 76% perusahaan telah memiliki aktuaris pada level FSAI dengan total FSAI mencapai 83 orang.

Kewajiban pemenuhan aktuaris telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian dan Peraturan OJK Nomor 67/POJK.05/2016 mengenai perizinan di industri asuransi. Pasal-pasal dalam regulasi tersebut menegaskan pentingnya keberadaan aktuaris dalam manajemen risiko keuangan perusahaan asuransi.

Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Budi Herawan, sebelumnya menyatakan bahwa pemenuhan aktuaris menjadi tantangan tersendiri bagi perusahaan asuransi, terutama asuransi umum. Salah satu alasan utamanya adalah keterbatasan jumlah aktuaris di Indonesia dan biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan mereka.

“Ini menjadi persoalan bagi industri asuransi umum. Jumlah aktuaris untuk appointed actuary di Indonesia masih kurang memadai dan biaya yang harus dikeluarkan cukup besar,” ujar Budi.

 

OJK
Share this Post:

TERBARU

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by BPR News