Bprnews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengumumkan peluncuran sistem teknologi baru yang akan mengawasi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa merinci bagaimana sistem inovatif ini dirancang untuk membantu BPR dalam meningkatkan sisi manajemennya langkah ini merupakan respon terhadap beberapa studi kasus yang menyoroti buruknya manajemen tata kelola yang membuat BPR mengalami keruntuhan dan terpaksa ditutup.
"Kami akan bangun sistem IT yang dapat dipakai BPR se-Indonesia secara gratis. Sehingga mereka BPR bisa lebih bagus menata manajemen perbankannya. Itu nanti ke depanya, supaya BPR tidak gampang jatuh lagi," kata Yudhi di Indramayu, Rabu (25/10).
Ia menjelaskan, Sistem teknologi ini diklaim akan membantu pengawasan LPS terhadap BPR dengan teknologi baru ini LPS bisa melakukan pengawasan terhadap BPR secara real-time.
"Kami bisa pantau real time, dari waktu ke waktu," imbuh dia.
Rencananya sistem teknologi khusus untuk BPR akan diluncurkan pada awal tahun 2025. LPS telah menginvestasikan dana sebesar Rp 200 miliar untuk pengembangan sistem ini. Setahun ke depan LPS akan mempelajari dan menguji sistem yang baru dikembangkan ini.
"Kami perlu persiapan, jangan sampai sistemnya kacau dan gampang dihack. Kalau LPS sistem IT-nya canggih jadi tidak perlu khawatir," ujar dia.
Lebih lanjut, Purbaya menceritakan sistem ini merupakan kontribusi signifikan LPS terhadap industri perbankan Indonesia sebagai lembaga yang mengumpulkan iuran dari bank, sistem IT khusus LPS untuk BPR membuka jalan maju dalam memajukan industri perbankan.
"Supaya uang LPS juga utuh. Kalau BPR tidak bermasalah kan kami juga tidak keluar duit. Tapi yang penting masyarakat juga tenang," ungkap dia.
Purbaya menjelaskan, pada umumnya masalah yang ada di BPR tidak terkait dengan keadaan ekonomi makro namun kebangkrutan BPR sering kali disebabkan oleh manajemen dan tata kelola yang buruk.
Bprnews.id - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menetapkan 44 perusahaan pinjaman online (pinjol) sebagai terlapor atas dugaan pelanggaran aturan anti-monopoli, Platform fintech peer-to-peer lending ini diduga melanggar hukum dengan mengatur harga.
Dalam siaran pers KPPU menjelaskan kasus kartel pinjol yang tadinya berada pada tahap awal penyelidikan kini telah masuk lebih dalam ke tahap selanjutnya, 44 perusahaan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ini.
KPPU akan memanggil semua pihak termasuk 44 pinjol sebagai terlapor, saksi, dan ahli untuk mengumpulkan alat bukti dugaan pelanggaran.
Pada tahap awal penyidikan, KPPU menemukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah menerbitkan panduan Layanan Pinjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang bertanggung jawab. Pedoman tersebut mengatur besaran bunga, biaya pinjaman, dan biaya lainnya tidak melebihi tingkat suku bunga flat 0,8 persen per hari tetapi pada tahun 2021 diatur lebih lanjut agar tidak melebihi 0,4 persen per hari.
Dari informasi yang dikumpulkan, termasuk dari 5 penyelenggara P2P lending, AFPI, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), KPPU telah mengantongi satu alat bukti pelanggaran UU anti-monopoli.
(KPPU) memberikan pengaturan melalui AFPI dengan tujuan melindungi konsumen dari biaya predatory lending serta memastikan bahwa pinjaman tidak diberikan tanpa memperhatikan kemampuan bayar peminjam.
Dalam Penyelidikan yang akan berlangsung selama 60 hari, KPPU akan membuktikan bahwa perilaku platform pinjol yang menerapkan suku bunga yang sama adalah hasil kesepakatan di antara penyelenggara.
"Pada prinsipnya di suatu pasar yang bersaing, setiap pelaku usaha P2P lending akan menjalankan usahanya secara lebih efisien, sehingga mampu menetapkan tarif suku bunga yang lebih rendah dari para pesaingnya serta memberikan berbagai pilihan fasilitas dan tarif suku bunga bagi konsumen," kata Gopprera Panggabean, Direktur Investigasi pada Kedeputian Penegakan Hukum KPPU.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memandang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah ( BPRS) kini lebih banyak kebebasan dalam operasionalnya dan aktivitas bisnis mereka sangat mirip dengan bank umum. Terlebih lagi BPR/BPRS kini berada di ambang pencatatan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui Initial Public Offering (IPO).
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae menyebut BPR/BPRS saat ini memiliki kinerja yang cukup baik mulai dari segi penyaluran kredit hingga perolehan laba bersih.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae mengatakan dua institusi ini menunjukkan kinerja yang cukup baik dalam berbagai aspek penting seperti penyaluran kredit dan perolehan laba bersih.
"Rasio-rasio keuangan mulai membaik dari kondisi sebelum covid, BPR sangat dibutuhkan masyarakat berbagai daerah," ujarnya di konferensi pers secara virtual, Senin (30/10).
Dian melanjutkan persyaratan kebijakan pemenuhan modal sangatlah penting, pada saat persediaan modal tidak mencukupi atau mengalami fraud jika hal itu terjadi maka OJK sendiri harus mengambil tindakan tegas dan menjaga kepentingan masyarakat luas agar tidak ada pihak yang terkena dampak negatifnya.
"Ada beberapa bank yang fraud dan diserahkan ke LPS tugas kita di OJK melakukan penyehatan seoptial mungkin dalam setahun kalau sudah melampaui waktu satu tahun harus diserahkan ke LPS terserah LPS polanya bagaimana cara penanganannya diserahkan LPS," jelasnya.
Dian menegaskan bahwa BPR harus dan mampu berkontribusi secara signifikan langkah penting yang harus diambil oleh BPR/BPRS melakukan transformasi digital dan meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM).
"Kita ingin pastikan bahwa BPR merupakan lembaga yang kredibel dan memberikan kontribusi tinggi kepada masyarakat," pungkasnya.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meningkatkan kewaspadaannya dalam memperkuat transparansi dan menghilangkan moral hazard dalam industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS).
"Jangan sampai kemudian BPR Ini mendapat stigma buruk di masyarakat sehingga langkah-langkah tegas untuk melakukan pembenahan harus dilakukan, karena memang itu yang kami lakukan sekarang karena masih ada beberapa bank yang fraud dan sudah kami serahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)," ungkap Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK saat konferensi pers RDK bulanan, Senin (30/10).
Dian mengatakan, jika kita melihat kinerja BPR dan BPRS dari waktu ke waktu menunjukkan adanya kemajuan yang cukup signifikan hampir semua aspek, seperti penghimpunan dana, penyaluran kredit, dan lain-lain. Dian juga menyatakan rasio keuangan mulai membaik mendekati posisi sebelum pandemi COVID.
"Ini tanda-tanda kalau memang BPR ini masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat kita di berbagai daerah," katanya.
Dian mengatakan dengan keluarnya UU P2SK BPR ini diberikan kewenangan yang lebih dan upaya-upaya untuk memperkuat BPR dan BPRS ini harus terus dilakukan karena nyaris tidak ada perbedaan yang berarti antara bank umum biasa dengan BPR/BPRS, sehingga upaya-upaya konsolidasi yang sudah dan sedang dilakukan akan terus dilanjutkan.
Untuk diketahui, BPR/BPRS bakal leluasa dalam melakukan peningkatan permodalan ke depan setelah Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) disahkan.
RUU P2SK akan mendorong pengembangan industri BPR/BPRS. Salah satunya dengan memperbolehkan BPR/BPRS melakukan Initial Public Offering (IPO) atau melantai di pasar modal, juga melakukan konsolidasi dengan BPR/BPRS lain.
Karena permodalan masih jadi salah satu masalah utama di BRP/BPRS, OJK telah mengeluarkan aturan yang mewajibkan BPR/BPRS memiliki modal inti minimum Rp 6 miliar di akhir 2024.
Berdasarkan UU P2SK Pengawas Perbankan OJK memiliki tugas yaitu mengoptimalkan dan meningkatkan penyehatan sebaik mungkin dalam rentang waktu satu tahun yang sangat terbatas. Jika suatu saat melampaui jangka waktu tersebut, tugas akan diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk diselesaikan.
"Kenapa ini memang harus terjadi? karena upaya-upaya untuk memperkuat BPR dan BPRS ini terus dilakukan sehingga betul-betul BPR/BPRS ini akan memberikan kontribusi yang lebih besar kepada ekonomi rakyat terutama ekonomi rakyat di daerah," ucapnya.
Dian mengaku bahwa timnya telah memiliki peta jalan pengembangan yang rinci untuk BPR dan BPRS. Strateginya melibatkan semua aspek antara lain akselerasi, konsolidasi, penguatan permodalan, dan transformasi digital. Tidak hanya itu, mereka juga berencana untuk mengatasi permasalahan Sumber Daya Manusia (SDM).
"BPR/BPRS ini masih harus terus dilanjutkan penguatannya dan kami pastikan bahwa BPR/BPRS ini menjadi bank yang betul-betul kredibel dan betul-betul memberikan kontribusi yang tinggi kepada masyarakat kita," tandasnya.
Bprnews.id - Dana investasi Sovereign Wealth Fund (SWF) milik Norwegia yang saat ini bernilai US$1,4 Triliun atau setara Rp 22.157 Triliun (kurs Rp 15.827) mengalami kerugian sebesar 2,1% pada kuartal ketiga tahun 2023 hal ini dikarekanan penurunan nilai seluruh kelas aset secara luas.
Wakil CEO Norges Bank Investment Management, Trond Grande mencatat bahwa kondisi pasar masih terbebani oleh kekhawatiran jangka panjang mengenai melemahnya perekonomian.
"Pasar saham mengalami kuartal yang lebih lemah dibandingkan dua kuartal sebelumnya. Khususnya sektor teknologi, industri dan sektor konsumen lah yang memberikan kontribusi negatif," kata Grande, Selasa (24/10).
Dana Pensiun Pemerintah Global (Global Pension Fund) rugi sebesar US$ 34 miliar atau setara Rp 538,11 triliun pada kuartal ketiga, dengan periode tiga bulan lebih lemah dibandingkan dengan paruh pertama tahun ini.
Meski begitu, hasilnya 0,17 poin persentase masih lebih kuat dibandingkan imbal hasil indeks acuan dana tersebut dana tersebut terakhir kali melaporkan kerugian kuartalan satu tahun lalu.
Sebagai informasi Dana Kekayaan Negara Norwegia (SWF), yang didirikan pada tahun 1990an untuk menginvestasikan kelebihan pendapatan dari sektor minyak dan gas Norwegia yang melimpah. Hingga saat ini, menjadi dana abadi terbesar di dunia dan telah menyalurkan pendanaan ke lebih dari 9.200 perusahaan di 70 Negara di seluruh dunia.
Dana tersebut melaporkan kerugian kuartalan sebesar 3,3% atas investasinya pada real estate yang tidak terdaftar, sementara kerugian kuartal ketiga atas investasi infrastruktur energi terbaru mencapai 2,4%.
Pada akhir kuartal ketiga, ekuitas menyumbang 70,6% dari investasi dana tersebut, sedikit turun dari tiga bulan sebelumnya.