Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan POJK 17/2023 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum (POJK Tata Kelola) yang mengatur mengenai pembagian dividen perbankan. Para pelaku perbankan pun turut merespon aturan tersebut.
Direktur Bisnis Bank Sumsel Babel Antonius Prabowo Argo menyikapi aturan tersebut secara positif. Menurutnya, alokasi laba yang diperoleh bank bisa diprioritaskan untuk memperkuat permodalan bank serta kebutuhan investasi dalam pembangunan daerah.
Senada dengan hal tersebut, Raden Agus Trimurjanto Direktur Pemasaran Bank BPD DIY juga menyambut baik POJK No 17/2023. Hal ini juga menjadi langkah untuk mempercepat penguatan dari sisi modal serta memberikan kepastian hukum bagi pemegang saham.
Selengkapnya saksikan Anneke Wijaya bersama Raden Agus Trimurjanto Direktur Pemasaran Bank BPD DIY dan Antonius Prabowo Argo Direktur Bisnis Bank Sumsel Babel dalam segmen Money Talk di Program Money Talks CNBC Indonesia, Selasa (26/09/2023).
Bprnews.id - OJK telah mengeluarkan strategi pengembangan perbankan syariah Indonesia tahun 2020-2025. Perbankan syariah harus melakukan transformasi menjadi perbankan syariah yang berdaya saing tinggi dan berperan lebih nyata pada perekonomian nasional dan pembangunan sosial.
Kondisi dan situasi industri jasa keuangan nasional secara tidak langsung turut mempengaruhi perbankan syariah. Untuk itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam kapasitasnya sebagai regulator dan pengawas industri jasa keuangan terus mencermati perubahan lingkungan, termasuk dinamika teknologi.
“Bank syariah merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, investasi dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan atau bentuk lain berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank perekonomian rakyat syariah,” jelas Ardiansyah Rakhmadi selaku Analis Senior Direktorat Pengaturan dan Pengembangan Perbankan Syariah OJK dalam seminar di Yogyakarta, Jumat (29/9).
Unit usaha syariah merupakan unit kerja dari kantor pusat bank umum konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
“Dalam rangka menjawab tantangan struktur dan evolusi ekonomi dan kekayaan digital kemudian tuntutan pembiayaan perekonomian nasional serta adanya ketimpangan literasi saat ini, OJK mengeluarkan strategi pengembangan perbankan syariah Indonesia tahun 2020-2025,” Imbuh dia.
Perbankan syariah harus melakukan transformasi menjadi perbankan syariah yang berdaya saing tinggi dan berperan lebih nyata pada perekonomian nasional dan pembangunan sosial di Indonesia. Tidak hanya itu, perbankan syariah Indonesia harus menjadi perbankan yang terdepan dalam menjalankan layanan keuangan yang berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) dan juga dengan menerapkan prinsip Creating Shared Value (CSV) yang sejatinya merupakan esensi dasar dari penerapan Maqashid Syariah dalam ekonomi syariah.
“Saat ini kondisi perbankan syariah belum memiliki diferensiasi model bisnis atau produk yang signifikan, adanya literasi dan inklusi yang masih rendah dan kuantitas serta kualitas SDM yang kurang, lalu paling terlihat adalah teknologi informasi yang belum memadai,” kata dia.
Bprnews.id - Pemberhentian atau penggantian Komisaris Independen sebelum periode masa jabatan berakhir wajib mendapatkan persetujuan OJK terlebih dahulu. Para kepala daerah, yang hobi memberhentikan direksi BPD di tengah jalan, kini tak bisa lagi main “copot” secara subjektif.
Pergantian direksi dan komisaris bank umum (tak hanya BPD) kini diatur sesuai dengan tata kelola yang baik. Saat ini semua ada tata caranya. Tak seperti kasus-kasus sebelumnya yang terjadi di beberapa BPD, Mereka tidak bisa main copot dan sesukanya lagi memberhentikan sekalipun yang melakukan adalah pemegang saham pengendali (PSP).
Beberapa waktu lalu, OJK mengeluarkan POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum. POJK Tata Kelola ini terdiri atas 23 bab. Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menegaskan, POJK ini menjadi payung hukum. Ini juga berlaku bagi syariah.
Itu artinya, Lengkap untuk kepengurusan direksi dan komisaris, termasuk tata cara pemberhentian direksi dan komisaris , menyelaraskan berbagai ketentuan, baik terkait aspek tata kelola yang diatur dalam ketentuan tersendiri maupun ketentuan lain.juga, memberikan penguatan atau penyesuaian, selaras dengan kebutuhan perbankan terkini.
Selain itu, POJK ini mengatur tentang remunerasi, penyediaan dana, dan pengaturan dividend payout ratio. Pemegang saham tidak boleh lagi sesuka hati mengambil dividen. Bank harus mempunyai kebijakan tentang dividen dan dikomunikasikan kepada pemegang saham. Kebijakan dividen ini tidak mengatur besaran persentase.
Boleh jadi, POJK tentang tata kelola bagi bank umum ini benar-benar melindungi kepentingan bank, sehingga mempunyai daya tahan terhadap tantangan ke depan, selain memang untuk keberlanjutan operasional bank. Pengaturan tentang tata kelola ini juga menjawab keluhan para direksi, terutama direksi BPD, yang sering kali diintervensi PSP dengan banyak kepentingan politik praktis.
Bahkan, dari sisi waktu, POJK ini tepat, karena keluar di tahun politik seperti sekarang ini. Para pejabat (PJ) gubernur yang kini mayoritas menggantikan gubernur terpilih kerap kali membuat kebijakan pergantian direksi dan pengalihan dana pemda keluar dari BPD. Jadi, kini para pemegang saham tidak lagi bisa main copot dan memberikan perintah-perintah yang memandulkan BPD.
Pasal 11 dari POJK tentang Tata Kelola ini menegaskan bahwa pemberhentian atau pergantian direktur utama dan/atau direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan sebelum masa jabatan berakhir wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari OJK sebelum diputuskan dalam RUPS.
Jelas ditegaskan, sebelum direktur utama dan direktur kepatuhan diberhentikan harus ada izin OJK. Tidak hanya izin pemberhentian, OJK juga akan melakukan penilaian tentang sebab musabab. Oleh karena itu, sebelum pemberhentian, izin sudah harus disetujui oleh OJK, karena bisa jadi OJK tidak menyetujui pemberhentian. Bahkan, tertulis dalam pasal 13 mengenai kewenangan OJK dalam melakukan koreksi dan evaluasi terhadap tindakan pengangkatan, pemberhentian, pergantian, dan/atau pengunduran direksi melalui perintah tertulis.
Harus diakui, dalam hal pergantian direksi mendadak ini, OJK “pasang badan” dan tetap menjaga tata kelola yang baik. Pasal-pasal tentang pencopotan direksi menjadi jawaban atas tindakan serampangan PSP yang sebagian besar dilakukan kepala daerah (PSP) terhadap direksi BPD.
Selain itu, OJK menjaga tindakan PSP yang selama ini main ambil dividend payout tanpa memperhatikan kondisi bank. Banyak BPD yang perlu modal, tapi justru dividen yang dibagi besar. Alasannya, karena pendapatan asli daerah (PAD) terbesar dari BPD, maka perlu diambil untuk pembangunan. Jelas, logika ini perlu diluruskan.
Harapan ke depannya, selain POJK Tata Kelola ini diterapkan secara konsisten dan tegas, OJK harus punya keberanian untuk tidak mengindahkan PP 54 Tahun 2017 yang justru mengerdilkan BPD. Pasal-pasal tentang direksi dan komisaris banyak bertentangan dengan POJK Tata Kelola ini. Semoga OJK tidak bilang, sepanjang tidak diatur dalam POJK, maka tetaplah berlaku. Harapannya OJK secara tegas menyatakan bahwa PP 54 Tahun 2017 tidak berlaku bagi BPD dan hanya berlaku bagi BUMN non-bank.
Tapi, jujur, keberanian OJK “pasang badan” dalam pergantian direksi ini patut diapresiasi, karena jangan sampai bank rela dijadikan “sapi perahan” oleh pemegang saham. Di lain sisi, jangan sampai pula bank diisi oleh orang-orang yang bisa membahayakan bank.
Bprnews.id - Para kepala daerah, yang hobi memberhentikan direksi BPD di tengah jalan, kini tak bisa lagi main “copot” secara subjektif. Pemberhentian direksi dan komisaris di tengah jalan kini harus mendapat persetujuan OJK.
Meski yang melakukan adalah pemegang saham pengendali (PSP), mereka tidak bisa main copot dan sesukanya lagi memberhentikan. Saat ini semua ada tata caranya. Tak seperti kasus-kasus sebelumnya yang terjadi di beberapa BPD. Pergantian direksi dan komisaris bank umum (tak hanya BPD) kini diatur sesuai dengan tata kelola yang baik.
Beberapa waktu lalu, OJK mengeluarkan POJK Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum. POJK Tata Kelola ini terdiri atas 23 bab. Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menegaskan, POJK ini menjadi payung hukum. Ini juga berlaku bagi syariah.
Itu artinya, menyelaraskan berbagai ketentuan, baik terkait aspek tata kelola yang diatur dalam ketentuan tersendiri maupun ketentuan lain.juga, memberikan penguatan atau penyesuaian, selaras dengan kebutuhan perbankan terkini. Lengkap mengatur kepengurusan direksi dan komisaris, termasuk tata cara pemberhentian direksi dan komisaris.
Selain itu, POJK ini mengatur tentang remunerasi, penyediaan dana, dan pengaturan dividend payout ratio. Pemegang saham tidak boleh lagi sesuka hati mengambil dividen. Bank harus mempunyai kebijakan tentang dividen dan dikomunikasikan kepada pemegang saham. Kebijakan dividen ini tidak mengatur besaran persentase.
Boleh jadi, POJK tentang tata kelola bagi bank umum ini benar-benar melindungi kepentingan bank, sehingga mempunyai daya tahan terhadap tantangan ke depan, selain memang untuk keberlanjutan operasional bank. Pengaturan tentang tata kelola ini juga menjawab keluhan para direksi, terutama direksi BPD, yang sering kali diintervensi PSP dengan banyak kepentingan politik praktis.
Bahkan, dari sisi waktu, POJK ini tepat, karena keluar di tahun politik seperti sekarang ini. Para pejabat (PJ) gubernur yang kini mayoritas menggantikan gubernur terpilih kerap kali membuat kebijakan pergantian direksi dan pengalihan dana pemda keluar dari BPD. Jadi, kini para pemegang saham tidak lagi bisa main copot dan memberikan perintah-perintah yang memandulkan BPD.
Pasal 11 dari POJK tentang Tata Kelola ini menegaskan bahwa pemberhentian atau pergantian direktur utama dan/atau direktur yang membawahkan fungsi kepatuhan sebelum masa jabatan berakhir wajib mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari OJK sebelum diputuskan dalam RUPS.
Jelas ditegaskan, sebelum direktur utama dan direktur kepatuhan diberhentikan harus ada izin OJK. Tidak hanya izin pemberhentian, OJK juga akan melakukan penilaian tentang sebab musabab. Oleh karena itu, sebelum pemberhentian, izin sudah harus disetujui oleh OJK, karena bisa jadi OJK tidak menyetujui pemberhentian. Bahkan, tertulis dalam pasal 13 mengenai kewenangan OJK dalam melakukan koreksi dan evaluasi terhadap tindakan pengangkatan, pemberhentian, pergantian, dan/atau pengunduran direksi melalui perintah tertulis.
Harus diakui, dalam hal pergantian direksi mendadak ini, OJK “pasang badan” dan tetap menjaga tata kelola yang baik. Pasal-pasal tentang pencopotan direksi menjadi jawaban atas tindakan serampangan PSP yang sebagian besar dilakukan kepala daerah (PSP) terhadap direksi BPD.
Selain itu, OJK menjaga tindakan PSP yang selama ini main ambil dividend payout tanpa memperhatikan kondisi bank. Banyak BPD yang perlu modal, tapi justru dividen yang dibagi besar. Alasannya, karena pendapatan asli daerah (PAD) terbesar dari BPD, maka perlu diambil untuk pembangunan. Jelas, logika ini perlu diluruskan.
Harapan ke depannya, selain POJK Tata Kelola ini diterapkan secara konsisten dan tegas, OJK harus punya keberanian untuk tidak mengindahkan PP 54 Tahun 2017 yang justru mengerdilkan BPD. Pasal-pasal tentang direksi dan komisaris banyak bertentangan dengan POJK Tata Kelola ini. Semoga OJK tidak bilang, sepanjang tidak diatur dalam POJK, maka tetaplah berlaku. Harapannya OJK secara tegas menyatakan bahwa PP 54 Tahun 2017 tidak berlaku bagi BPD dan hanya berlaku bagi BUMN non-bank.
Tapi, jujur, keberanian OJK “pasang badan” dalam pergantian direksi ini patut diapresiasi, karena jangan sampai bank rela dijadikan “sapi perahan” oleh pemegang saham. Di lain sisi, jangan sampai pula bank diisi oleh orang-orang yang bisa membahayakan bank.
Bprnews.id - Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Erick Thohir mengarahkan sistem perekonomian dan keuangan yang berbasis syariah dapat populer di dalam negeri dan penyebarannya secara global.
Penguatan ekonomi dan keuangan syariah terus dilakukan Indonesia untuk menjadi pemain utama di sektor ekonomi berbasis syariah. Kontribusi sektor ekonomi syariah meningkat, meskipum belum maksimal.
Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) periode bakti 2023-2025 Erick Thohir optimitis target perbankan syariah tumbuh hingga 25 persen dapat tercapai. Tentunya, untuk mewujudkan mimpi tersebut perlu didukung dengan memperbanyak jumlah bank syariah di Indonesia.
"Mungkin (mencapai target 25 persen) makanya kita dorong dulu itu kebijakan bank internasipmnal kalau bisa untuk memisahkan unit usaha syariah (UUS) dan bank konvensionalnya. Sehingga tidak banyak sayap. Kalau dipisahkan kan akan banyak bank syariah jadinya kan ada persaingan lebih terbuka. Ini yang kita dorong," ujarnya saat ditemui di Jakarta, Ahad (1/10/2023).
Erick pun mendorong agar lebih banyak lagi unit usaha syariah (UUS) memisahkan diri dari bank induknya dan segera membentuk bank umum syariah (BUS). Langkah ini, menurutnya perlu dilakukan agar perbankan syariah tidak hanya dimonopoli oleh Bank Syariah Indonesia (BSI).
"Harus ada persaingan bank syariah. Saya harapkan bank syariah lain harus besar lagi," tegasnya.
Disinggung perihal pemisahan unit usaha syariah (UUS) BTN, Erick mengaku saat ini pihaknya masih mempelajari langkah terbaik untuk Bank pelat merah tersebut. Menurutnya, dengan semakin banyaknya bank syariah akan mendorong kompetisi yang lebih positif.
"Seperti BTN, kami masih pelajari apakah akan menjadi bagian BSO atau mungkin bergaabung demgan bank syariah lainnya seperti dengan bank Muamalat atau dibesarkan sendiri dengan investasi lainnya itu konteks terbuka bagi saya," tuturnya.
Erick juga mengungkapkan, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dikantonginya, total aset industri keuangan syariah di Indonesia pada akhir 2022 mencapai lebih dari Rp2.813 triliun, tumbuh sebesar 13,4 persen dari tahun sebelumnya.
Erick juga menyebut tingkat literasi dan inklusi keuangan Syariah masih rendah, yaitu tercatat 9,14 persen dan 12,12 persen. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan indeks relasi dan inklusi keuangan nasional, yaitu sebesar 49,68 dan 85 persen.
"Untuk itu diperlukan kerjasama dan berbagai pihak. Disini lah peran besar Masyarakat Ekonomi Syariah yang diharapkan dapat berkontribusi secara optimal dalam mengembangkan ekonomi Syariah demi kemaslahan umat,” kata Erick.