Bprnews.id - Lima bank perkreditan rakyat di Bali resmi mengadopsi sistem credit score dari PT Pemeringkat Efek Indonesia biro kredit Idscore untuk analisis kelayakan bagi pelaku usaha penerima kredit. Direktur Utama PEFINDO Biro Kredit IdScore, Yohanes Arts Abimanyu menjelaskan peran BPR yang semakin besar dalam mendorong pertumbuhan UMKM dan meningkatnya permintaan kredit dari UMKM.
Karena hal itulah perlu dioptimalkan dengan pemanfaatan credit score untuk analisis kelayakan para pelaku usaha menerima kredit. “Meningkatnya jumlah pelaku usaha kecil dan menengah yang mendongkrak permintaan kredit mikro perlu diimbangi dengan akselerasi pemanfaatan teknologi digital oleh BPR.
Lima bank perkreditan rakyat (BPR) tersebut adalah BPR Sukawati Pancakanti, BPR Angsa Sedanayoga, BPR Eka Ayu Artha Bhuwana, BPR Bank Daerah Bangli dan BPR Tridarma Putri. Menurut Abimayu, digitalisasi tidak saja akan meningkatkan efisiensi proses penyaluran kredit.
BPR juga akan tetap dapat mengedepankan akurasi dalam pengambilan keputusan kredit. Digitalisasi juga akan meningkatkan kualitas layanan BPR yang inovatif seperti perbankan online dan peningkatan efisiensi proses bisnis. Tidak hanya itu, dengan memanfaatkan credit score, dengan begitu penyaluran kredit dimungkinkan meningkat dengan adanya beberapa tools yang akan melengkapi atau mendapatkan informasi atau data yang lebih lengkap dan valid.
Ketua DPD Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) Bali, I Ketut Komplit menjelaskan kolaborasi ini akan mendukung bisnis proses BPR di Pulau Dewata. Bentuk dukungan itu seperti mempercepat proses layanan penyaluran kredit, penerapan manajemen risiko atau mitigasi risiko dan penerapan prudent banking principle.
BPR di Pulau Dewata juga berkesempatan membidik peluang perluasan jangkauan penyaluran kredit yang sehat dengan kualitas terjaga. Terlebih saat ini credit score sudah bisa dibuat secara custom yang disesuaikan dengan preferensi risiko dan target pasar BPR.
Bprnews.id - Beberapa kebijakan kartu kredit 2023 baru-baru ini diumumkan oleh Bank Indonesia (BI), kebijakan itu di antaranya perpanjangan relaksasi bayar minimal, tingkat suku bunga kredit, hingga batas bayar denda. Masa berlaku kebijakan batas minimum pembayaran oleh pemegang kartu kredit sebesar 5 persen dari total tagihan resmi diperpanjang. Semula BI menetapkan 31 Desember 2022 sebagai batas pembayaran, lalu diperpanjang hingga 30 Juni 2023.
Selain itu, batas bayar denda keterlambatan pembayaran kartu kredit maksimal 1 persen atau Rp100 ribu berlaku hingga 30 Juni 2023. BI juga bakal mempertahankan batas maksimum suku bunga kartu kredit sebesar 1,75 persen per bulan. Perry Warjiyo selaku Gubernur BI mengatakan bahwa langkah ini diambil untuk memperkuat kebijakan sistem pembayaran dan meningkatkan efisiensi dalam rangka menjaga momentum pemulihan ekonomi.
"Memperpanjang masa berlaku kebijakan nilai denda keterlambatan pembayaran kartu kredit sebesar 1 persen atau maksimal Rp100 ribu dari semula 31 Desember 2022 menjadi 30 Juni 2023," ungkap Perry dalam konferensi pers virtual, Kamis (22/12).
Selain itu, BI juga akan memperpanjang masa berlaku Merchant Discount Rate (MDR) QRIS untuk merchant kategori usaha mikro (UMI) sebesar 0 persen dari semula 31 Desember 2022 menjadi 30 Juni 2023.
Selanjutnya, BI juga akan melanjutkan masa berlaku kebijakan tarif SKNBI sebesar Rp1 dari Bank Indonesia ke bank dan maksimum Rp2.900 dari bank kepada nasabah dari semula 31 Desember 2022 menjadi 30 Juni 2023.
"BI juga melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dengan fokus pada respons suku bunga perbankan terhadap suku bunga kebijakan," pungkas Perry.
Bprnews.id - Melalui Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan PT. Pefindo Biro Kredit (IdScore) mengumumkan bahwa ada tiga provinsi dengan tingkat gagal bayar (default rate) tinggi atas masyarakatnya yang mengakses kredit. Dijelaskan oleh Direktur Utama IdScore Yohanes Arts Abimanyu bahwa default rate tertinggi saat ini dipegang Sulawesi Utara dengan 9,93 persen, Sumatra Utara 8,65 persen, dan Sumatra Selatan 8,51 persen.
"Selain faktor kurangnya edukasi dan literasi, default rate juga mengindikasikan bahwa masyarakat di provinsi tersebut memiliki tingkat kesadaran dalam pengembalian pinjaman yang masih cukup rendah," ujarnya dalam wawancara khusus bersama Bisnis, dikutip Kamis (12/1/2023). Beberapa provinsi lain dengan tingkat default rate tinggi mayoritas berada di luar Pulau Jawa, misalnya Gorontalo, Lampung, Bengkulu, dan Sumatra Barat. Sementara di Pulau Jawa, provinsi yang hampir masuk zona 'merah', antara lain Banten, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Menurut Abinyau ada korelasi antara tingkat default rate dengan fenomena gap inklusi & literasi keuangan, terutama berkaitan akses kredit, pembiayaan, maupun pinjaman dari berbagai sektor keuangan, antara lain bank, multifinance, fintech, gadai, dan lain-lain. "Mungkin orang-orang di daerah ini sudah berada dalam cakupan inklusi keuangan, tapi awareness pembayaran pinjaman masih rendah karena literasi keuangan mereka belum cukup.
Jadi memang harus ada upaya lebih soal edukasi keuangan di wilayah tersebut," tambahnya. Oleh sebab itu, menurutnya merupakan tugas bersama bagi setiap pemangku kepentingan, baik masyarakat, pelaku industri, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk terus meningkatkan edukasi terkait finansial di wilayah tersebut, sehingga gap inklusi & literasi keuangan bisa terus ditekan.
Sebagai gambaran, Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022 mencatat indeks inklusi keuangan saat ini mencapai 85,1 persen, sedikit lagi menyentuh target inklusi keuangan nasional tembus 90 persen pada 2024. Capaian ini tercatat membaik secara signifikan ketimbang hasil SNLIK OJK di tahun-tahun sebelumnya, di mana inklusi keuangan pada 2016 tercatat hanya sebesar 67,8 persen, kemudian menjadi 76,19 persen pada 2019.
Namun, indeks literasi keuangan pada SNLIK 2022 tercatat masih 49,68 persen. Kendati terbilang naik signifikan ketimbang hasil SNLIK OJK pada 2016 dan 2019 yang masing-masing hanya 29,7 persen dan 38,03 persen, tetap saja nilainya belum sampai menembus 50 persen.
Bprnews.id - Kinerja fundamental PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) telah memacu tren positif harga saham perseroan. Pada pekan terakhir di bulan Juli ini, emiten bersandi BBRI kembali menembus harga level tertinggi atau all time high (ATH) di level Rp 5.650 pada penutupan perdagangan Selasa (25/7/2023), bahkan pada Jumat (28/7/2023) BBRI di tutup di level Rp 5.700.
Pengamat Bank BRI menilai hal tersebut semakin menarik untuk dikoleksi, salah satunya karena terdorongnya aksi korporasi buyback oleh perseroan dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Head of Equity Investment Berdikari Manajemen Investasi Agung Ramadoni menyebut, buyback menjadi sinyal yang baik bagi investor BRI.
“Buyback menjadi sinyal positif bagi investor, mencerminkan manajemen percaya dengan kinerjanya ke depan. Selain itu kinerja fundamental BRI, jadi faktor kunci untuk perbankan tetap dapat mencetak pertumbuhan laba adalah dari segi efisiensi,” kata Agung, belum lama ini.
Sesuai dengan RUPST BRI tahun 2023 pada 13 Maret 20223, BRI telah mengalokasikan dana sebesar Rp 1,5 triliun yang akan diselesaikan dalam jangka waktu maksimal 18 bulan dari putusan RUPS, sehingga periode buyback akan berlangsung pada 14 Maret 2023 hingga 14 September 2024.
sebagai program kepemilikan saham bagi karyawan dan direksi atau ESOP (Employment Stock Ownership Plan), BRI akan melaksanakan buyback secara bertahap maupun sekaligus. Direksi perseroan mengatakan intensif saham akan diberikan berdasarkan kinerja Insan BRIlian atau pekerja BRI, hal tersebut dikatakan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) pada 13 Maret 2023.
Terkait dengan aksi korporasi buyback tersebut, sebelumnya Direktur Utama BRI Sunarso mengatakan bahwa aksi korporasi ini tidak mengganggu kondisi keuangan pasca buyback sehingga dipastikan kondisi keuangan perseroan tetap solid.
“Selama buyback ini kita sudah sangat kalkulatif dengan baik, tidak akan mengganggu kinerja, tidak akan mengganggu permodalan BRI ke depan bahkan memperkuatnya,” ujarnya.
Sunarso juga mengungkapkan bahwa buyback saham ini bertujuan untuk meningkatkan engagement karyawam BRI dengan cara menjadikan buyback sebagai program kepemilikan saham pekerja maupun direksi. Dia berharap dengan adanya buyback saham ini, akan menumbuhkan motivasi dan rasa memiliki karyawan terhadap perusahaan yang kemudian akan mendongkrak kinerja karyawan.
Agung lanjut menjelaskan alasan lain mengapa saham BBRI layak dikoleksi, yakni terkait kinerja fundamental dalam beberapa waktu terakhir, dimana efisiensi menjadi salah satu strategi BBRI untuk meningkatkan profitabilitas.
“Kemampuan bank meningkatkan efisiensi terlihat dari pertumbuhan biaya operasional BRI yang lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan,” lanjutnya.
Net interest margin (NIM) atau margin bunga bersih naik menjadi 7,8% pada kuartal I-2023 dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 7,7%. Pada periode yang sama credit cost atau biaya kredit bank turun 198 basis poin (bps) per Maret 2023 dibandingkan tahun lalu.
Kemampuan bank meningkatkan efisiensi terlihat pula dari return on average equity (ROAE) atau tingkat pengembalian ekuitas rata-rata yang naik signifikan ke level lebih dari 20%.
Pada periode yang sama sejumlah beban berhasil ditekan, seperti beban promosi turun 8,1% (yoy) menjadi Rp 298,74 miliar dan beban lainnya susut 5,73% (yoy) menjadi Rp 7,39 triliun. Alhasil, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) turun dari 64,26% pada kuartal I-2022 menjadi 60,7% pada kuartal I-2023.
(Desca)