Bprnews.id - Dalam hubungan hukum antara kreditur dan debitur, terutama dalam konteks perjanjian kredit, hal tersebut bersifat keperdataan. Advokat I Nyoman Agus Trisnadiasa, SH, MH, yang sering bertindak sebagai kuasa hukum Tim Likuidasi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Bali, menjelaskan bahwa jika debitur melalaikan kewajibannya, kreditur dapat menuntut segera penyelesaian utang, termasuk bunga, dan denda kredit.
Jika terbukti adanya kelalaian atau tipu muslihat yang dilakukan oleh debitur, sehingga menyebabkan kreditur memberikan kredit, ada potensi bagi kreditur untuk melaporkan debitur atas dugaan tindakan penipuan. Perjanjian kredit merupakan dokumen tertulis yang mengatur hak dan kewajiban antara debitur dan kreditur, serta teknis penyelesaian kredit dan penyelesaian sengketa.
“Apabila kemudian terbukti ada tipu muslihat yang dilakukan sejak awal oleh pihak debitur, sehingga mengakibatkan kreditur bersedia memfasilitasi pemberian kredit, maka ada potensi bagi kreditur untuk melaporkan si debitur atas dugaan tindakan penipuan,” terangnya dalam keterangan pers yang diterima redaksi Selasa (2/1/2024).
Trisnadiasa menjelaskan bahwa tindakan wanprestasi oleh debitur dapat berupa ketidakpenuhan, keterlambatan, atau ketidaksempurnaan dalam memenuhi kewajiban. Bank umumnya akan mengambil langkah penyelesaian keperdataan sesuai dengan perjanjian kredit yang telah disepakati.
“Biasanya tindakan sebagaimana dimaksud dapat berupa tiga hal, yaitu: tidak memenuhi prestasi (kewajiban), terlambat memenuhi prestasi (kewajiban), dan atau tidak sempurna memenuhi prestasi (kewajiban). Ketiga hal tersebut yang selanjutnya dikenal dengan istilah wanprestasi dalam keilmuan hukum,” paparnya.
Pada awalnya, penyelesaian dapat dilakukan melalui mekanisme nonlitigasi, seperti restrukturisasi utang. Namun, jika upaya tersebut tidak berhasil, kreditur berhak mengajukan gugatan ke pengadilan dengan merujuk pada ketentuan hukum yang relevan.
“Mangkir dari utang sudah barang tentu masuk kualifikasi wanprestasi dan harus diselesaikan secara keperdataan,” tegas Trisnadiasa.
Namun pola penyelesaiannya tidak boleh langsung dengan cara mengajukan gugatan ke pengadilan (litigasi), sehubungan ada mekanisme nonlitigasi yang patut dikedepankan, yang sifatnya lebih menguntungkan para pihak, misalnya restrukturisasi utang (kredit).
“Bisa saja dengan pola restrukturisasi utang (kredit) misalnya, meskipun restrukturisasi itu sejatinya bukan hal wajib yang harus diberikan oleh kreditur kepada debitur,” tambah advokat yang berkantor di Kantor Gopta Law Firm ini.
Jika upaya nonlitigasi tidak berhasil membuat debitur mematuhi kewajibannya, kreditur memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan setempat dengan merujuk pada ketentuan hukum tertentu. Pasal-pasal tertentu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dapat digunakan sebagai dasar gugatan, seperti Pasal 1234, Pasal 1238, dan Pasal 1239 KUH Perdata.
Proses litigasi ini dapat membawa dampak terhadap harta benda milik debitur, baik yang telah ada maupun yang akan ada di masa depan. Kreditur juga memiliki hak istimewa terhadap agunan kredit, seperti tanah yang dibebani hak tanggungan atau kendaraan bermotor yang dibebani fidusia.
Dalam beberapa kasus, bank selaku kreditur dapat memilih untuk melaporkan debitur yang wanprestasi dalam ranah pidana, terutama jika terdapat bukti penipuan atau tindakan jahat lainnya. Namun, langkah ini harus diambil dengan hati-hati dan didukung oleh bukti yang cukup.
Terkait pidana, debitur yang sengaja melalaikan kewajibannya dengan membuka hutang ke beberapa kreditur dapat dikenakan Pasal 378 KUHP (penipuan). Jika debitur secara sengaja melalaikan kewajiban membayar utang, dapat diancam pidana berdasarkan Pasal 379 a KUHP.
“Bisa saja bank melaporkan debiturnya dengan sangkaan Pasal 378 KUHP (penipuan), sepanjang ada bukti yang cukup bahwa perjanjian dibuat dengan didasari itikad buruk/niat jahat, seperti memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang dapat merugikan orang lain. Jadi semua pihak harus berhati-hati,” rincinya.
Prinsip yang penting dalam hubungan utang-piutang adalah bahwa debitur wajib melunasi utang kepada kreditur. Jika utang tidak dilunasi, konsekuensi hukumnya adalah aset debitur menjadi tanggungan utang, dan kreditur memiliki hak untuk menggugat, menyita, dan melelang aset tersebut. Oleh karena itu, prinsip ini harus dipegang teguh oleh semua pihak yang berencana mengajukan permohonan kredit kepada bank.