bank umum


Jokowi Ungkap Likuiditas Kering, Kredit Melemah Sepanjang 2023

Standard Post with Image

Bprnews.id - Situasi tahun 2023 yang cukup tidak stabil berdampak pada perilaku masyarakat yang cenderung menahan kredit dan makan tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta membayar cicilan.

Secara umum, kondisi perekonomian 2023 masih terbilang cukup sulit mengingat berbagai peristiwa yang terjadi khususnya dari global, seperti Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, perang Rusia-Ukraina sejak 2022 yang tak kunjung usai, perang Hamas-Israel yang dipicu kembali pada Oktober 2023, hingga suku bunga global yang masih tinggi untuk menekan inflasi yang sempat melonjak.

Alhasil untuk menghadapai situasi tersebut, setiap individu relatif cenderung menggunakan tabungannya untuk bertahan hidup dan perusahaan/korporat juga menahan ekspansi bisnisnya. Hal ini berujung pada pertumbuhan kredit yang terus melandai.

situasi ekonomi yang tidak stabil pada tahun 2023 berdampak pada perilaku masyarakat yang cenderung menahan kredit dan menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta membayar cicilan. Secara umum, kondisi perekonomian pada tahun 2023 dianggap sulit karena berbagai peristiwa global, termasuk pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, perang Rusia-Ukraina sejak 2022 yang masih berlanjut, konflik Hamas-Israel yang kembali memanas pada Oktober 2023, dan suku bunga global yang tinggi untuk menekan inflasi yang sempat melonjak.

Dalam menghadapi situasi tersebut, banyak individu cenderung menggunakan tabungan untuk bertahan hidup, sementara perusahaan dan korporasi menahan ekspansi bisnis mereka. Hal ini berkontribusi pada penurunan pertumbuhan kredit yang terus melandai sepanjang tahun 2023. Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa salah satu tantangan ekonomi yang dihadapi adalah likuiditas yang kering, mencerminkan kesulitan dalam mendapatkan likuiditas atau dana tunai.

Perjalanan Kredit dan Dana Pihak Ketiga (DPK) Tahun ini:

Januari-Februari, Kredit & DPK Masih Tinggi

pada awal tahun, uang beredar dalam arti luas (M2) tumbuh positif menjadi Rp8.271,7 triliun, mengalami kenaikan sebesar 8,2% year on year (yoy). Pertumbuhan ini dipengaruhi oleh pertumbuhan komponen uang beredar dalam arti sempit (M1) yang juga tumbuh sebesar 8,5% yoy.

Tingginya pertumbuhan M2 disebabkan oleh penyaluran kredit yang tumbuh lebih dari 10%, sejalan dengan perkembangan penyaluran kredit produktif dan konsumtif. Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) pada bulan Januari 2023 mencatat pertumbuhan sebesar 8,03%, mencapai Rp7.953,8 triliun. Perbandingan dengan Desember 2022 menunjukkan pertumbuhan sebesar 9,01%, dengan giro sebagai pendorong utama pertumbuhan tersebut.

Tingginya penyaluran kredit juga dikaitkan dengan upaya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait pengenaan bunga kredit mikro sebesar 0%. Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan bahwa pada Februari 2023, usulan penurunan bunga pinjaman untuk pelaku usaha ultra mikro telah disampaikan langsung kepada Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo. Bahkan, hal ini mendapat dukungan dari Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), yang sudah dibahas dalam rapat terbatas.

April, Kredit Anjlok Menjelang Lebaran

pertumbuhan kredit bank di awal kuartal II-2023 menunjukkan penurunan daya tumbuh, hanya mencapai sekitar 8% year on year (yoy) pada bulan April 2023. Angka ini merupakan yang terendah sejak Maret 2022 atau setahun terakhir. Situasi ini mengejutkan banyak pihak, terutama mengingat bahwa peristiwa ini terjadi menjelang periode Idulfitri, di mana tradisionalnya terjadi peningkatan permintaan kredit.

Pada tahun-tahun sebelum pandemi Covid-19, Idulfitri tercatat sebagai faktor yang mendorong pertumbuhan kredit perbankan. Sebagai contoh, pada tahun 2019, di mana Ramadan dan Idulfitri jatuh pada Mei-Juni, penyaluran dana dari bank mengalami pertumbuhan dua digit, mencapai 11% yoy, yang jauh melampaui pertumbuhan akhir tahun yang hanya sekitar 5,9% yoy.

Peremahan kredit pada bulan April 2023 terjadi pada semua jenis kredit, termasuk investasi, modal kerja, dan konsumsi. Pertumbuhan kredit investasi hanya mencapai 9,1% (yoy), merupakan yang terendah dalam setahun terakhir. Kredit modal kerja tumbuh sebesar 7,1% (yoy) pada April 2023, mencapai level terendah sejak Desember 2021. Sementara itu, kredit konsumsi tumbuh sebesar 9,5% (yoy) pada bulan yang sama, mencapai level terendah dalam tiga bulan terakhir.

Perry, yang disebutkan dalam berita, menduga bahwa perlambatan kredit terjadi karena adanya pelunasan yang dipercepat oleh debitur berorientasi ekspor. Ada kemungkinan bahwa beberapa korporasi memilih melunasi kredit mereka sebelum menentukan langkah selanjutnya untuk investasi dan pembiayaan.

Juni, Kredit Ambles Jauh dari Target

Pada Juni 2023, pertumbuhan kredit perbankan tercatat cukup rendah, hanya sebesar 7,76% year on year (yoy). Angka ini jauh dari target pertumbuhan kredit sepanjang tahun ini yang berada dalam kisaran 9-11%. Perry, yang disebutkan dalam berita, menyatakan bahwa penurunan kredit perbankan terjadi karena menurunnya permintaan kredit dari dunia usaha. Hal ini terjadi di tengah melimpahnya likuiditas perbankan, tingginya rencana penyaluran kredit, dan longgarnya standar penyaluran kredit atau pembiayaan perbankan.

Selain itu, korporasi juga cenderung mempercepat pelunasan kredit dan mengambil sikap "wait and see" dalam rencana investasi ke depan. Sikap "wait and see" ini juga terlihat dari investor yang meragukan kebijakan suku bunga, terutama setelah bank sentral Amerika Serikat (The Fed) memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin pada bulan Juli. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa Bank Indonesia (BI) juga mungkin akan menaikkan suku bunga acuannya, yang dapat berdampak pada kenaikan biaya kredit perbankan.

Keseluruhan, faktor-faktor seperti melimpahnya likuiditas, rencana penyaluran kredit yang tinggi, pelunasan kredit yang dipercepat oleh korporasi, dan sikap "wait and see" dari investor, semuanya berkontribusi pada pertumbuhan kredit perbankan yang rendah pada bulan Juni 2023.

Agustus, Pertumbuhan Kredit Kembali Sesuai Target

pada bulan Agustus, kredit perbankan mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan, mencapai 9,06% year on year (yoy). Pertumbuhan kredit tersebut terutama didorong oleh kinerja sektor Jasa Dunia Usaha, Perdagangan, dan Jasa Sosial. Selaras dengan pertumbuhan kredit secara agregat, pembiayaan syariah juga tumbuh tinggi, mencapai 14,52% yoy.

Selain itu, pertumbuhan kredit untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga membaik, mencapai 8,90% yoy, terutama berasal dari segmen mikro. Hal ini menunjukkan adanya pemulihan dalam permintaan kredit dari sektor-sektor tertentu, yang kemungkinan disebabkan oleh perbaikan kondisi ekonomi atau kebijakan yang mendorong penyaluran kredit.

Pertumbuhan kredit yang positif ini dapat mencerminkan sejumlah faktor, termasuk adanya upaya pemulihan ekonomi, dorongan dari sektor-sektor yang lebih produktif, dan mungkin juga adanya kebijakan atau insentif tertentu yang mendukung penyaluran kredit pada bulan Agustus.

November, Kredit Naik Tapi Likuiditas Kering?

Pada bulan November 2023, pertumbuhan penyaluran kredit perbankan mencapai 9,74% secara year on year (yoy), mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya yang sebesar 8,99% yoy. Pertumbuhan kredit ini didorong oleh permintaan kredit dari korporasi dan rumah tangga, terutama dari sektor perdagangan besar dan eceran, industri pengolahan, dan jasa.

Meskipun pertumbuhan kredit meningkat, M2 pada Oktober 2023 tercatat hanya tumbuh sebesar 3,4% yoy, yang merupakan angka pertumbuhan terendah dalam sejarah Indonesia. Perlambatan ini disebabkan oleh pertumbuhan uang kuasi sebesar 7,8% yoy pada Oktober 2023, yang turun dari bulan sebelumnya yang tumbuh 8,4% yoy pada September 2023.

Uang kuasi dalam nominal tumbuh secara bulanan sekitar Rp43 triliun dari Rp3.744,8 triliun pada September 2023 menjadi Rp3.787,3 triliun pada Oktober 2023 yang didominasi oleh simpanan berjangka (rupiah dan valas).

DPK pada November 2023 tercatat sebesar Rp8.029,7 triliun, tumbuh 3,8% yoy, yang relatif stabil dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Namun, pertumbuhan DPK terus melandai seiring dengan tren penurunan tabungan, terutama dari masyarakat kelas menengah bawah.

Melandainya pertumbuhan DPK selaras dengan Mandiri Spending Index (MSI) menunjukkan bahwa tren masyarakat kelas menengah bawah menahan tabungan terus berlanjut sejak bulan April 2023. Meskipun demikian, jumlah tabungan terus mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2022.

Bank Mandiri melihat bahwa fenomena ini terjadi karena adanya akumulasi tabungan utamanya kelas menengah bawah, yang cukup tinggi di tahun 2022 akibat terjadinya pandemi dan pembatasan sosial. Masyarakat pun mulai menarik tabungannya di tahun 2023.

Tingkat tabungan kelompok masyarakat terbawah (dengan saldo tabungan di bawah Rp 1 juta) mengalami perlambatan, sementara penurunan tingkat tabungan kelompok ini mulai melandai. Hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya tabungan masyarakat kelompok bawah mulai berdampak pada belanja mereka.

Di sisi lain penurunan tingkat tabungan kelompok ini, yang sejak Mei terus tergerus, mulai melandai. Hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya tabungan masyarakat kelompok bawah mulai berdampak pada belanja mereka. Sementara itu kelompok menengah-mereka dengan saldo tabungan Rp1-10 juta-relatif stabil dan berada pada kisaran 166,4.

Sebagai catatan, data yang dihimpun oleh CNBC Indonesia Research menunjukkan posisi pertumbuhan DPK Oktober 2023 tercatat paling rendah jika dibandingkan sejak Desember 2016.

Kekeringan likuiditas ini juga diakui oleh Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede.

"Kalau kita bicara tentang likuiditas memang likuiditas perbankan sudah menunjukkan tren menurun," kata Josua dikutip pada Selasa, (5/12/2023).

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, mengakui kekeringan likuiditas dalam perbankan yang menunjukkan tren menurun. Presiden Jokowi juga menyoroti peredaran uang yang semakin kering, memperingatkan potensi gangguan pada sektor riil.

Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, memproyeksikan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit di perbankan pada tahun ini akan rendah, masing-masing di kisaran 6%-8% dan 7%-9%. Bank-bank besar dapat melampaui angka tersebut sekitar 1%-2%.

Sikap hati-hati diambil karena risiko tekanan ekonomi global, perang, volatilitas harga komoditas, pelemahan ekonomi, inflasi yang tinggi, dan suku bunga global yang masih tinggi. Bank berencana untuk tetap prudent dalam memberikan kredit sambil memitigasi risiko dan melihat peluang.

"Ini jadi catatan karena appetite sebenarnya untuk memberikan kredit itu masih cukup tinggi, namun bank akan sangat prudent melihat dan memitigasi risiko sambil melihat peluang," tutur Andry.

Situasi tahun 2023 yang cukup tidak stabil berdampak pada perilaku masyarakat yang cenderung menahan kredit dan makan tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta membayar cicilan.

Secara umum, kondisi perekonomian 2023 masih terbilang cukup sulit mengingat berbagai peristiwa yang terjadi khususnya dari global, seperti Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, perang Rusia-Ukraina sejak 2022 yang tak kunjung usai, perang Hamas-Israel yang dipicu kembali pada Oktober 2023, hingga suku bunga global yang masih tinggi untuk menekan inflasi yang sempat melonjak.

Alhasil untuk menghadapai situasi tersebut, setiap individu relatif cenderung menggunakan tabungannya untuk bertahan hidup dan perusahaan/korporat juga menahan ekspansi bisnisnya. Hal ini berujung pada pertumbuhan kredit yang terus melandai.

situasi ekonomi yang tidak stabil pada tahun 2023 berdampak pada perilaku masyarakat yang cenderung menahan kredit dan menggunakan tabungan untuk memenuhi kebutuhan hidup serta membayar cicilan. 

Secara umum, kondisi perekonomian pada tahun 2023 dianggap sulit karena berbagai peristiwa global, termasuk pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, perang Rusia-Ukraina sejak 2022 yang masih berlanjut, konflik Hamas-Israel yang kembali memanas pada Oktober 2023, dan suku bunga global yang tinggi untuk menekan inflasi yang sempat melonjak.

Dalam menghadapi situasi tersebut, banyak individu cenderung menggunakan tabungan untuk bertahan hidup, sementara perusahaan dan korporasi menahan ekspansi bisnis mereka. Hal ini berkontribusi pada penurunan pertumbuhan kredit yang terus melandai sepanjang tahun 2023. 

Presiden Jokowi mengungkapkan bahwa salah satu tantangan ekonomi yang dihadapi adalah likuiditas yang kering, mencerminkan kesulitan dalam mendapatkan likuiditas atau dana tunai.

 

Share this Post:

TERBARU

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by BPR News