Bprnews.id - Pemerintah Indonesia telah menetapkan sasaran, yakni memperluas peran Kredit Usaha Rakyat (KUR) sehingga menjadi 30% dari total kredit perbankan nasional pada tahun 2024. Kebijakan ini tidak hanya berfungsi sebagai langkah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, tetapi juga sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan warga dan menciptakan lapangan kerja baru.
Namun, di tengah dinamika ekonomi yang fluktuatif dan tantangan implementasi di lapangan, terdapat kecemasan bahwa target tersebut mungkin akan menjadi tonggak yang sulit untuk dicapai.
Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, tak ragu menyuarakan pendapatnya bahwa sudah tiba saatnya pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program KUR. Dalam pandangannya, ada kendala substansial yang perlu diatasi, terutama terkait dengan suku bunga kredit yang tinggi, yang diyakini dapat mencegah potensi kredit ini dirasakan sepenuhnya oleh para pelaku usaha.
“Harus dilakukan evaluasi terhadap permasalahan suku bunga tinggi yang menjadi penyakit kronis kita. Ini yang harus diselesaikan, kalau kita bisa menyelesaikan persoalan kredit perbankan yang tinggi, KUR kan gak perlu,” ujar Piter dalam Webinar, Kamis 16 November 2023.
Dia menambahkan kondisi ini tidak hanya memberatkan pembiayaan bagi peminjam, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mengenai efisiensi operasional bank itu sendiri yang dapat dijadikan tolak ukur dalam hal ini ialah NIM (net interest margin) yang menjadi cerminan selisih antara pendapatan bunga yang diterima bank dari kredit yang diberikan dengan biaya bunga yang harus mereka bayar, NIM ini tercatat sangat tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, mengindikasikan ada ruang yang signifikan untuk peningkatan efisiensi.
Di sinilah pentingnya BOPO (biaya operasional pendapatan operasional), sebuah rasio yang menunjukkan efisiensi bank dalam mengelola biaya operasional terhadap pendapatan operasionalnya NIM serta BOPO menjadi aspek kritis yang seyogianya menjadi fokus perbaikan dalam ranah perbankan di Tanah Air.
“Bagaimana kita mendorong perbankan kita untuk tidak lazy bank, dan bagaimana perbankan kita itu mengejar-ngejar untuk meningkatkan penyaluran kredit. Karena menurut saya bank tidak menyalurkan kredit saja itu sudah untung, nah ini penyakit-penyakit perbankan kita harus diselesaikan dulu,” ungkapnya.
Kedua, yang perlu dievaluasi terkait dengan program pemerintah untuk membantu UMKM sangat banyak, misalnya saja program dana bergulir dan PNM yang menyalurkan program Mekar.
“Itu juga kan kredit untuk ultra mikro itu bagus, tapi sekali lagi ini tumpang tindih dengan berbagai program, kemudian ada KUR,” jelas Piter.
Yang sebenarnya, kata Piter, KUR ini dapat mendistorsi pasar keuangan khususnya di level bawah, seperti BPR yang tidak mendapatkan subsidi bunga KUR dari pemerintah.
“BPR yang sudah cost of fund-nya tinggi harus berhadapan bank besar, bank besarnya dikasih subsidi. Ini gak imbang, ini sebenernya harus menjadi evaluasi kita karena keberadaan KUR juga satu tumpang tindih dengan berbagai program pemerintahlain, juga menggangu pasar lembaga keuangan mikro yang ada di daerah termasuk pasar BPR,” jelasnya.
Terkahir, pemerintah harus mempertimbangkan sejauh mana KUR sudah berdampak dalam mendorong penyaluran kredit kepada UMKM. Yang mana rasionya masih belum tercapai, padahal pemerintah sudah mengeluarkan subsidi yang cukup besar.
“Harus ada perhitungan manfaat dan mudaratnya, evaluasi kelayakan dari KUR secara jujur, secara terbuka jangan sampai ini hanya dimanfaatkan. Kalau saya melihatnya ini yang happy bank-nya, tetapi UMKM gak happy-happy banget,” tutupnya.