bprnews.id - Kredit bermasalah di Bank Perekonomian Rakyat (BPR) semakin meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah BPR yang bangkrut dan pencabutan izin operasional oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2024. Terbaru, OJK resmi mencabut izin usaha bank yang bangkrut, yakni PT Bank Perkreditan Rakyat Nature Primadana Capital. Pencabutan ini ditetapkan melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-70/D.03/2024 tertanggal 13 September 2024. Sepanjang tahun 2024, sudah ada 15 BPR yang bangkrut dan dicabut izin usahanya oleh OJK. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh OJK, rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL), termasuk kredit macet di BPR, meningkat menjadi 11,39% per Juni 2024, dengan nominal NPL mencapai Rp16,46 triliun. Dari jumlah tersebut, kredit macet mencapai Rp10,91 triliun, naik 29,87% year on year (yoy).
Pada periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Juni 2023, NPL BPR masih berada di level 9,27% dengan nominal NPL sebesar Rp12,58 triliun, sementara kredit macet pada saat itu mencapai Rp8,4 triliun. NPL BPR telah perlahan naik sejak awal tahun 2024, di mana pada Januari 2024 berada di level 10,25%, kemudian meningkat di Februari menjadi 10,55%, dan terus naik pada Maret, April, serta Mei 2024 dengan masing-masing berada di level 10,7%; 11,2%; dan 11,37%.
Meski NPL meningkat, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, melaporkan bahwa aset, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan kredit BPR serta BPR Syariah tetap tumbuh pada semester I/2024, dengan pertumbuhan tahunan masing-masing sebesar 6,19%, 7,01%, dan 6,96%. Menurutnya, pertumbuhan ini terjadi karena perluasan kegiatan usaha sesuai dengan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), yang ditopang oleh pemenuhan modal inti minimum Rp6 miliar dan akselerasi konsolidasi industri BPR/S sebagaimana diatur dalam POJK Nomor 7 Tahun 2024. Dian juga memproyeksikan bahwa di tahun mendatang, BPR akan menghadapi berbagai tantangan, mulai dari dinamika ekonomi global dan domestik hingga adopsi teknologi informasi yang semakin masif, yang berpotensi mempengaruhi perilaku, ekspektasi, dan kebutuhan masyarakat terhadap layanan keuangan dari BPR.
"Selain itu, BPR juga akan menghadapi persaingan yang semakin ketat, terutama dalam hal penyaluran kredit atau pembiayaan kepada segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)," jelasnya dalam pernyataan tertulis pada Sabtu, 14 September 2024. Untuk menghadapi tantangan tersebut, BPR diharapkan memiliki ketahanan dan daya saing yang kuat agar tetap bisa mempertahankan kinerja serta eksistensinya. Sebagai bagian dari pengembangan industri BPR, OJK telah merilis peta jalan yang mencakup empat pilar utama, yaitu penguatan struktur dan daya saing, akselerasi digitalisasi BPR, penguatan peran BPR di wilayahnya, serta penguatan pengaturan, perizinan, dan pengawasan.
Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo), Tedy Alamsyah, mengakui adanya kenaikan NPL di BPR sebagai dampak dari berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit akibat pandemi Covid-19. Meski demikian, ia optimistis bahwa penurunan kualitas kredit BPR tidak akan berlangsung lama, mengingat para pelaku industri BPR giat memperbaiki kinerja seiring dengan pemulihan ekonomi.
"Selain itu, pengelolaan risiko juga terus ditingkatkan, dimulai dari analisis kredit hingga pembinaan setelah pencairan kredit. Ini merupakan bagian dari upaya kami untuk terus meningkatkan kinerja dan daya saing industri," tambahnya dalam wawancara dengan Bisnis beberapa waktu lalu.