Bprnews.id - Jumlah bank perkreditan rakyat (BPR) yang gulung tikar masih terus bertambah. Tahun ini, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah melikuidasi dua BPR, yakni BPR Bagong Inti Marga (BIM) di Jawa Timur dan Perumda BPR Karya Remaja Indramayu (BPR KRI) di Jawa Barat.
BPR KRI merupakan BPR terbesar kedua yang pernah ditutup LPS. Bank ini tercatat memiliki 34.000 rekening saat dinyatakan resmi dilikuidasi dengan total dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 337,17 miliar.
Dari jumlah simpanan itu, total yang layak bayar karena dijamin penuh oleh LPS mencapai Rp 300,03 miliar. Hingga 1 November, LPS telah melakukan pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah BPR KRI sebesar Rp 285,8 miliar.
BPR terbesar yang pernah ditutup LPS adalah BPR Tripanca Setiadana di Lampung pada 2009. Saat resmi dinyatakan gagal, bank itu punya 11.000 rekening nasabah dengan total DPK Rp 516,4 miliar dan yang layak bayar mencapai Rp 507,79 miliar.
Adapun BPR BIM tercatat memiliki 2.907 rekening nasabah dengan total simpanan mencapai Rp 13.64 miliar. Jumlah simpanan yang layak mendapat penjaminan penuh mencapai Rp 13,14 miliar.
Swandi, Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank LPS menegaskan, penyebab utama banyaknya BPR mengalami kegagalan bukan karena persaingan bisnis antar BPR maupun dengan bank umum, melainkan karena faktor kesalahan tata kelola.
"Banyak BPR gagal karena faktor fraud, digerogoti pengurus, karyawan, pemilik saham. Bukan karena persaingan dan bank run. Jadi ini masalahnya adalah kesalahan tata kelola," jelas Swandi dalam LPR Media Gathering, Kamis (9/11).
Menurut Swandi, penyakit BPR-BPR bermasalah selalu terlambat diketahui. Ibarat kanker, penyakitnya baru diketahui setelah sudah stadium akhir.
Kondisi tersebut terjadi karena manipulasi laporan keuangan kerap terjadi di industri bank cilik tersebut. Berbeda dengan bank umum, laporan keuangan BPR untuk memenuhi aturan regulator tak pernah diperiksa oleh lembaga akutansi publik.
Swandi menyebut, laporan keungan kerap dimanunipulasi sehingga terlihat bagus atau window dressing semua. Padahal, kalau diperiksa satu per satu, akan ditemukan banyak kebohongan.
Oleh karena itu, ia mengusulkan agar pengawasan terhadap BPR tak lagi didasarkan pada laporan keuangan tetapi harus dilakukan inovasi agar kewajiban pelaporan berdasarkan penerapan tata kelola saja. "Jadi usulan saya, jangan laporan keuangan yang diwajibkan tetapi pelaporan penerapan tata kelola yang baik. Karena, tata kelola itu merupakan cerminan kredibilitas suatu bank," lanjut Swandi.