Bprnews.id - DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) masuk ke dalam sepuluh provinsi dengan tingkat kredit macet di industri financial technology peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online (pinjol) tertinggi per November 2023. Angka kredit macetnya mencapai 2,57%.
Menyikapi hal ini, Kepala Perwakilan OJK DIY, Parjiman, menjelaskan bahwa karakteristik debitur peer to peer lending cenderung lebih berisiko dibandingkan debitur sektor lain seperti perbankan. Meskipun tingkat wanprestasi (TWP) DIY masih di angka 2,57%, Parjiman menegaskan bahwa hal ini masih belum begitu mengkhawatirkan, terutama karena pinjaman P2P lending juga tidak membutuhkan syarat agunan.
"Tinggal kami lihat, tren ke depan bagaimana, dan perlu pengawasan yang lebih intens. 2,57% masih di bawah threshold kami 5% bahkan lebih rendah dari non performing loan (NPL) perbankan yang sekitar 4%," ujarnya.
Parjiman juga menjelaskan bahwa apabila tren kredit macet terus meningkat, OJK DIY tetap harus waspada. Untuk mengantisipasi hal ini, OJK telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) terbaru yang salah satunya adalah membatasi maksimal tingkat suku bunga yang dikenakan kepada debitur P2P lending.
Menurut data Statistik P2P lending November 2023 yang dirilis oleh OJK, Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan provinsi dengan tingkat kredit macet tertinggi per November 2023, mencapai 5,80%. Sementara itu, DIY berada di posisi ke-7 dengan tingkat kredit macet sebesar 2,57%.
Bprnews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah melakukan pembayaran klaim penjaminan sebesar Rp1,78 triliun setelah memperhitungkan nilai maksimum penjaminan LPS sebesar Rp2 miliar, set-off terhadap pinjaman, dan hasil penanganan keberatan nasabah yang diterima LPS.
Wakil Ketua Dewan Komisioner LPS, Lana Soelistianingsih, mengungkapkan bahwa sejak resmi beroperasi pada 22 September 2005, LPS telah melakukan penanganan terhadap 122 bank yang dicabut izin usahanya atau diresolusi, dengan total rekening nasabah sebanyak 325.454 rekening.
"Dari total simpanan layak bayar sebesar Rp2,08 triliun sejak 2005 hingga 31 Desember 2023, LPS telah membayarkan klaim penjaminan sebesar Rp1,78 triliun," ungkap Lana.
Lebih lanjut, Lana menyebutkan bahwa sebanyak 121 bank yang menjadi objek penanganan LPS merupakan Bank Perekonomian Rakyat (BPR) maupun Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS), sementara satu lainnya merupakan bank umum.
Bprnews.id - Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Lana Soelistianingsih mengungkapkan bahwa nominal simpanan nasabah yang dijamin oleh LPS di Indonesia maksimal mencapai Rp2 miliar, tergolong tinggi bahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura. Menurut Lana, jika dilihat dari sisi rasio pendapatan domestik bruto (PDB) per kapita, simpanan maksimal yang dijamin oleh LPS mencapai 26,7 kali dari PDB per kapita.
"Dengan besaran ini, secara nominal tingkat penjaminan di RI sudah tentu sangat kompetitif," ujar Lana dalam acara Bloomberg Technoz Economic Outlook 2024, Rabu (7/2/2024).
Bahwa nominal simpanan nasabah yang dijamin oleh LPS termasuk tinggi di antara negara-negara anggota The International Association of Deposit Insurers (IADI), menurut Lana.
LPS menjamin nilai simpanan hingga Rp2 miliar per nasabah per bank, artinya tabungan hingga batas tersebut akan sangat aman bahkan jika terjadi fraud oleh pengurus bank atau pencabutan izin usaha.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin usaha dari beberapa bank, termasuk BPR Usaha Madani Karya Mulia Kota Surakarta pada 5 Februari 2024. Hal ini merupakan bagian dari tindakan pengawasan untuk menjaga industri perbankan dan melindungi konsumen.
Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa menyatakan bahwa LPS bergerak dengan cepat untuk mengembalikan dana simpanan nasabah dalam upaya menjaga kredibilitas lembaga serta penjaminan perbankan.
Bprnews.id - Rundi Derma Perkasa, Kepala Divisi Manajemen Risiko Bank Mega Syariah, menyampaikan bahwa sebagai lembaga intermediasi, risiko terbesar yang dihadapi oleh bank adalah risiko kredit atau pembiayaan. Untuk mengantisipasi risiko ini, Bank Mega Syariah telah menerapkan pengelolaan risiko yang sesuai dengan SE OJK no. 25/SEOJK.03/2023, Basel Accord, dan praktik terbaik pasar.
"Pada proses pemberian pembiayaan, Bank Mega Syariah menilai risiko berdasarkan prinsip 5C, yaitu character atau integritas nasabah, capacity yaitu kemampuan membayar, capital atau modal nasabah, collateral yaitu agunan, dan condition atau prospek usaha. Selain itu, bank menerapkan prinsip four eyes, di mana pemberian pembiayaan melibatkan dua unit kerja yang memiliki fungsi bisnis dan risiko," jelas Rundi.
Rundi menjelaskan bahwa kinerja pengelolaan risiko yang baik tercermin dari penilaian parameter-parameter risiko yang sesuai dengan atau lebih baik dari apetite yang telah ditetapkan. Salah satu indikatornya adalah rasio non-performing financing (NPF). Bank Mega Syariah mencatatkan NPF gross sebesar 0,98 persen hingga akhir Desember 2023, yang merupakan salah satu yang terendah dibandingkan dengan bank sejenis.
Selain itu, tingkat modal yang kuat juga menjadi fokus Bank Mega Syariah untuk menyerap potensi kerugian. Capital adequacy ratio (CAR) Bank Mega Syariah per Desember 2023 mencapai 30,86 persen, jauh di atas minimum yang ditetapkan sesuai ketentuan.
Namun, tidak hanya risiko kredit yang menjadi perhatian. Risiko operasional, terutama terkait dengan perubahan teknologi dan keamanan informasi, juga menjadi fokus utama. Bank Mega Syariah telah mengambil langkah-langkah proaktif untuk mengantisipasi dan mengelola risiko tersebut, termasuk melakukan pengujian sistem dan aplikasi secara berkala serta menguji efektivitas rencana keberlangsungan bisnis dan pemulihan.
Sementara itu, pada tahun 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha dari empat bank karena tata kelola yang buruk, yang menyebabkan ketidaksehatan bank, menurut Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Langkah ini menegaskan pentingnya pengelolaan risiko yang efektif dalam menjaga kesehatan perbankan.
Bprnews.id - Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), yang meliputi PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), PT Bank Mandiri Tbk (Bank Mandiri), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN), telah melaporkan laporan keuangan mereka sepanjang tahun 2023. Dalam laporan tersebut, bank-bank BUMN ini mencatatkan laba bersih, bahkan ada yang mencatatkan kenaikan laba tertinggi sepanjang sejarah.
Dikutip dari laporan keuangan, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BRI) mencetak laba bersih sebesar Rp60,4 triliun pada tahun 2023. Direktur Utama BRI, Sunarso, menyatakan bahwa pencapaian ini sejalan dengan pertumbuhan aset yang mencapai Rp1.965 triliun atau tumbuh 5,3% year on year (YoY).
Sementara itu, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) membukukan laba bersih senilai Rp55,1 triliun, tumbuh 33,7% secara YoY. Direktur Utama Bank Mandiri, Darmawan Junaidi, menyatakan bahwa capaian kinerja ini merupakan yang terbesar sejak Bank Mandiri didirikan 25 tahun lalu.
"Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi pada tahun 2023, kondisi ekonomi Indonesia masih menunjukkan ketahanan yang kuat, didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga, investasi, dan inflasi yang tetap terkendali," ungkap Darmawan.
Sementara PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) atau BNI mencatat laba bersih sebesar Rp20,9 triliun, meningkat 14,2% secara YoY. Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, menjelaskan bahwa pertumbuhan laba tersebut sejalan dengan tingkat pengembalian ekuitas (ROE) yang naik menjadi 15,2%.
Terakhir, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BBTN) atau BTN mencatat laba bersih sebesar Rp3,5 triliun, dengan pertumbuhan 14,9% secara YoY. Laba ini didorong oleh kenaikan pendapatan non bunga yang mencapai 124,37% secara YoY.
Dari data tersebut, BRI menjadi bank BUMN dengan laba terbesar sepanjang 2023.