BPRNews.id - Perusahaan asuransi umum tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi pemberlakuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20 Tahun 2023 yang mengatur produk asuransi kredit dan suretyship. Regulasi ini akan mulai diterapkan pada 13 Desember 2024 dan membawa perubahan besar dalam persyaratan industri asuransi. Salah satu poin utama yang menonjol adalah kewajiban bagi perusahaan asuransi umum yang ingin memasarkan produk asuransi kredit dan suretyship untuk memiliki ekuitas minimal sebesar Rp250 miliar. Aturan ini diharapkan dapat memperkuat stabilitas keuangan perusahaan asuransi, terutama di tengah meningkatnya klaim asuransi kredit. Selain itu, POJK 20/2023 juga mengatur tentang produk asuransi terkait kredit atau pembiayaan syariah, serta produk suretyship atau suretyship syariah.
Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Budi Herawan berharap OJK memberikan kelonggaran dalam penerapan aturan ini. Hal ini disebabkan oleh kesulitan perusahaan asuransi kecil untuk memenuhi persyaratan ekuitas minimum yang dipatok Rp250 miliar dalam waktu dekat. "Suretyship ini kalau kita lihat kontribusi preminya kurang lebih satu tahun di angka Rp1,6 triliun. Dan ironisnya, Rp1,6 triliun ini semuanya adalah pemain-pemain yang ekuitasnya di bawah Rp250 miliar," ujar Budi dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Komunitas Penulis Asuransi (Kupasi) pada 4 Desember 2024.
Selain itu, POJK ini juga mewajibkan perusahaan asuransi umum yang menjual produk asuransi kredit dan suretyship untuk memiliki rasio likuiditas minimal 150%. Sementara itu, untuk perusahaan asuransi umum syariah, ekuitas yang harus dipenuhi adalah minimal Rp100 miliar atau 150% dari ekuitas minimal asuransi umum syariah hingga 31 Desember 2028, yang akan naik menjadi Rp500 miliar setelah 31 Desember 2024. Wahyudin Rahman, pengamat asuransi dan Ketua Umum Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (Kupasi), menilai bahwa ketentuan ini akan mengurangi jumlah perusahaan asuransi umum yang mampu memasarkan produk asuransi kredit, sehingga hanya perusahaan-perusahaan dengan struktur permodalan yang besar dan kinerja keuangan yang sangat baik yang bisa bertahan. "Jadi bisa dihitung dengan jari nantinya yang akan bermain asuransi kredit namun ini akan menguatkan industri," kata Wahyudin kepada Bisnis pada 6 Desember 2024.
Wahyudin juga mencatat bahwa, meski banyak perusahaan asuransi yang sedang dalam proses negosiasi dengan bank dan lembaga keuangan untuk menyesuaikan ketentuan ini, tidak mudah untuk mencapai kesepakatan mengingat kepentingan yang berbeda dan ketiadaan POJK yang mengatur pihak bank atau lembaga keuangan terkait hal yang sama. "Tentunya ada beberapa perusahaan asuransi yang tidak bisa menjual dan akan mengalihkan portofolionya karena batasan ekuitas dan rasio likuiditas serta faktor teknis seperti pengaturan cadangan dan term and condition," lanjutnya.
Di sisi positif, Wahyudin melihat bahwa POJK 20/2023 akan membantu menjaga stabilitas keuangan perusahaan asuransi. Data AAUI menunjukkan bahwa pada kuartal III/2024, industri asuransi umum mencatatkan kerugian dengan laba setelah pajak mencapai -Rp1,71 triliun. "Kehadiran POJK ini banyak yang menguntungkan perusahaan asuransi seperti adanya risk sharing, pengeluaran yang wajar, dan periode yang terjangkau," tambahnya.
Selain itu, POJK ini juga mengatur larangan bagi perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi umum syariah untuk memberikan pertanggungan atau pengelolaan risiko terkait meninggal dunia alami. Jika ada pertanggungan terkait risiko tersebut, perusahaan asuransi umum harus bekerja sama dengan perusahaan asuransi jiwa, sementara perusahaan asuransi umum syariah harus bekerja sama dengan perusahaan asuransi jiwa syariah. Aturan ini juga mewajibkan adanya pembagian risiko dengan kreditur dalam produk asuransi kredit dan pembiayaan syariah, dengan kreditur harus menanggung paling sedikit 25% dari nilai saldo kredit atau pembiayaan pada saat terjadi risiko yang ditanggung. Bagian risiko ini juga harus dicantumkan dalam polis asuransi.
Abitani Taim, Ketua Sekolah Tinggi Manajemen Risiko dan Asuransi (STIMRA), menilai bahwa penerapan POJK 20/2023 dapat menurunkan klaim asuransi kredit yang selama ini mengalami tren peningkatan. Hingga kuartal III/2024, klaim asuransi kredit tercatat melonjak 44,2% secara year on year (yoy) menjadi Rp10,48 triliun. Lonjakan tersebut menyebabkan rasio klaim meningkat menjadi 85,5% dari premi yang terkumpul sebesar Rp12,26 triliun. "Dengan adanya POJK ini, diharapkan klaim rasio untuk produk asuransi kredit akan membaik karena adanya penegasan manfaat apa saja yang dapat di-cover oleh perusahaan asuransi umum, dan adanya bagian risiko yang harus ditanggung oleh kreditur," kata Abitani.