Bprnews.id - Bank yang mengalami kegagalan atau bank bangkrut bertambah lagi di Indonesia, terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha BPR Persada Guna dan harus dilikuidasi. Sebelum dicabut OJK, BPR Persada Guna sempat mengalami kasus hukum.
OJK mencabut izin usaha BPR Persada Guna melalui Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-84/D.03/2023 tanggal 4 Desember 2023 tentang Pencabutan Izin Usaha PT Bank Perkreditan Rakyat Persada Guna
Lanskap perbankan Indonesia baru-baru ini kembali menghadapi guncangan ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK), otoritas jasa keuangan negara, mengambil tindakan tegas terhadap lembaga keuangan yang gagal memenuhi persyaratan peraturan.
Korban terakhir dari pengetatan regulasi ini adalah PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Persada Guna yang kini terpaksa dilikuidasi pasca pencabutan izin, OJK mengukuhkan penghentian operasional BPR Persada Guna melalui Surat Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK No. KEP-84/D.03/2023 tanggal 4 Desember 2023.
"Mencabut izin usaha PT BPR Persada Guna yang beralamat di Jalan Raya Provinsi KM 15 Sumberwaru, Sumberanyar, Kec.Nguling, Kab. Pasuruan, Jawa Timur," demikian dikutip dari pengumuman yang dirilis oleh OJK pada Selasa (5/12/2023).
Adapun, sebelum dicabut izinnya, BPR Persada Guna mengalami sejumlah kasus hukum. Terjadi penyaluran kredit fiktif yang kemudian dibongkar di pengadilan di mana 5 pengurus BPR Persada Guna terlibat.
"Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja, tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank," demikian dalam dakwaan di Pengadilan Negeri Bangil terhadap kasus kredit fiktif oleh pengurus BPR Persada Guna yang sebelumnya bernama BPR Kalimasada.
Kronologi Kasus Bank Bangkrut hingga Izin Dicabut OJK
Kisah ini mulai terungkap pada tahun 2015 ketika catatan menunjukkan bahwa pinjaman diberikan kepada sekelompok nasabah di BPR Persada Guna. Secara menipu, diketahui bahwa identitas orang-orang ini telah dibajak untuk dikenakan sanksi kredit dengan jumlah total Rp672,45 juta. Kegagalan membayar kembali pinjaman-pinjaman ini menyebabkan peningkatan beban bunga dan denda pada tahun 2019.
Akibat buruk dari skema penipuan ini mendorong OJK, untuk melakukan audit menyeluruh.
Kemudian, pada 31 Juli 2023 Persada Guna dalam status pengawasan khusus oleh OJK. Langkah ini merupakan refleksi langsung dari implementasi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
Fokus pengawasan ini terhadap BPR Persada Guna dilakukan setelah bank tersebut terdeteksi tidak memenuhi persyaratan tingkat permodalan yang ditentukan oleh undang-undang terbaru.
Pada tanggal 28 November 2023, langkah yang diambil OJK menetapkan BPR Persada Guna dalam status pengawasan bank dalam resolusi. Keputusan ini bukan tanpa dasar; OJK telah memberikan periode waktu yang memadai bagi pemegang saham, Dewan Komisaris, dan Direksi bank untuk melaksanakan proses penyehatan.
Namun, usaha-usaha yang dilakukan tidak membuahkan hasil yang diharapkan kondisi keuangan BPR Persada Guna tidak juga menunjukkan perbaikan, sehingga OJK harus mengambil langkah tegas ini.
Selanjutnya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah mengambil langkah tegas terhadap PT BPR Persada Guna menindaklanjuti Keputusan Anggota Dewan Komisioner Program Penjaminan Simpanan dan Keputusan Bank No. 21/ADK3/2023 tanggal 4 Desember 2023, otoritas memilih untuk tidak melakukan penyelamatan bank tersebut dan malah meminta kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mencabut izin usahanya.
OJK pun mencabut izin usaha BPR Persada Guna dengan pencabutan izin usaha ini, LPS akan menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dan UU PPSK.
LPS mengambil alih tanggung jawab untuk memastikan bahwa dana nasabah dapat diamankan dan dibayarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Upaya rekonsiliasi dan verifikasi data simpanan dan informasi relevan lainnya menjadi tahapan krusial yang dilaksanakan oleh LPS untuk menetapkan simpanan yang layak untuk dibayar.
Proses ini menjadi penanganan hak nasabah, menegaskan komitmen LPS untuk melindungi kepentingan masyarakat pemegang simpanan dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
“LPS paling lama 90 hari kerja sejak tanggal pencabutan izin usaha, yaitu paling lambat tanggal 4 April 2024. Pembayaran dana nasabah akan dilakukan secara bertahap selama kurun waktu tersebut,” ujar Sekretaris Lembaga LPS Dimas Yuliharto.
Sebelumnya, OJK telah mencabut izin operasional beberapa Bank Perkreditan Rakyat (BPR) pada tahun ini, yang menandakan kebijakan tidak ada toleransi terhadap lembaga keuangan yang tidak memenuhi standar peraturan. Korban terbaru di antaranya adalah BPR Indotama UKM Sulawesi dan BPR Karya Remaja Indramayu (BPR KRI), yang izinnya dicabut masing-masing melalui surat keputusan resmi KEP-79/D.03/2023 dan pengumuman sebelumnya.
Insiden-insiden ini menjadikan jumlah total BPR yang gagal menjadi 122 sejak berdirinya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tahun 2005.