BPRNews.id - Kepala Departemen Perizinan dan Manajemen Krisis Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Aslan Lubis, mengungkapkan bahwa dukungan dari berbagai regulasi yang diterbitkan oleh otoritas diharapkan dapat membuka lebih banyak peluang bagi bank dalam menyalurkan kredit kepemilikan rumah (KPR).
“Dengan aturan-aturan (yang diterbitkan OJK), kami berharap ini bisa melonggarkan atau memberikan ruang bagi perbankan untuk penyaluran kredit,” ujarnya dalam Dialog Solusi Pendanaan Program 3 Juta Rumah yang digelar di Jakarta, Senin.
Salah satu regulasi yang dimaksud adalah penghapusan pembatasan bagi bank untuk memberikan kredit kepada pengembang terkait pengadaan atau pengolahan tanah, yang tertuang dalam Peraturan OJK (POJK) No.27/2022, yang mencabut ketentuan dalam POJK No.44/2017 jo. POJK No.16/2018.
“Sebagaimana diketahui, kalau untuk kita debitur akhir atau konsumen akhir, membeli rumah itu kita tidak bisa membeli kavling untuk dapat kredit dari bank. Tetapi untuk pengembang ini bisa dilakukan,” kata Aslan menambahkan.
Selain itu, OJK juga telah mengeluarkan POJK No.32/POJK.03/2018 jo. POJK No.38/POJK.03/2019, yang memungkinkan pemberian pengecualian batas maksimum pemberian kredit (BMPK) jika kredit tersebut dijamin oleh lembaga keuangan penjaminan atau asuransi BUMN dan BUMD.
“Untuk pengadaan lahan misalnya bagi para pengembang itu butuh dana yang cukup besar. Dalam konteks itu, nanti bisa dikecualikan dari BMPK-nya bank,” terang Aslan.
OJK juga mendukung dengan mengeluarkan SEOJK No.24/SEOJK.03/2021 tentang Perhitungan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) Risiko Kredit dengan Pendekatan Standar. Aturan ini mengatur bobot risiko kredit beragun rumah tinggal berdasarkan rasio loan to value (LTV), sehingga semakin kecil LTV, bobot ATMR kredit semakin kecil, dan ini berdampak pada modal yang dibutuhkan untuk kredit.
“Jadi kalau Bank Indonesia mengatur loan to value-nya semakin kecil, maka bobotnya di ATMR nantinya ini akan mempengaruhi modal yang dibutuhkan untuk kredit tersebut semakin kecil pula,” jelas Aslan.
Terkait penetapan kualitas aset produktif, Aslan juga menjelaskan mengenai POJK 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Bank hanya menggunakan satu pilar dalam menilai kualitas aset untuk debitur dengan plafon kredit hingga Rp5 miliar, yaitu ketepatan pembayaran pokok dan bunga.
Namun, bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), penilaian hanya didasarkan pada satu pilar, yakni kemampuan membayar. Sayangnya, kemampuan membayar MBR masih sangat terbatas, sehingga sangat sulit mengandalkan dana perbankan untuk membantu mereka memiliki rumah.
“Sayangnya, ini juga yang sama-sama kita ketahui, untuk masyarakat MBR ini kemampuannya kurang juga. Jadi memang kalau mengandalkan dana perbankan untuk membantu memenuhi kebutuhan perumahan bagi MBR memang sangat sulit rasanya,” ujar Aslan.
Aslan juga menyoroti adanya mismatch antara dana jangka pendek yang dihimpun oleh perbankan dengan kebutuhan pendanaan jangka panjang untuk perumahan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Data price to income ratio tahun 2023 menunjukkan bahwa di Surabaya, misalnya, diperlukan waktu hingga 73 tahun bagi masyarakat untuk memiliki rumah yang layak huni.
"Kalau dilihat dari sisi pendapatan per kapita, yang tersingkat adalah 4 tahun di Jakarta Pusat dan yang terpanjang adalah 37 tahun di Depok. Artinya, kita membutuhkan dana yang sangat besar untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah,” tambah Aslan.