Standard Post with Image
BPR

POJK Merger BPRS Ini Pandangan Ketua DPP Perbarindo Tedy Alamsyah

bprnews.id - Lembaga keuangan Bank Perekonomian Rakyat/Syariah (BPR/BPRS) kini tengah mempertimbangkan opsi merger dengan bank umum yang memiliki modal lebih besar. Langkah ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan otoritas jasa keuangan terkait kepemilikan tunggal atau Single Presence Policy (SPP).

Menanggapi hal ini, Ketua DPP Perhimpunan Bank Perekoo ian Rakyat Indonesia (Perbarindo), Tedy Alamsyah, menyampaikan bahwa kebijakan tersebut memiliki sisi positif dan negatif.

"Memang secara organisasi kita keberatan dengan beberapa pertimbangan. Tetapi POJK sudah menetapkan POJK 7 kebijakan konsolidasi yang menganut Single Presence Policy (SPP)," ujar Tedy di sela-sela Rakerda 2024 DPD Perbarindo DKI Jaya dan Sekitarnya di sebuah hotel kawasan TMII, Jakarta Timur, Kamis (10/10).

Menurut Tedy, semua pihak harus melihat keputusan ini sebagai bagian dari perbaikan lembaga keuangan di Indonesia. "Karena ini sudah menjadi satu keputusan dari otoritas. Berarti kita tetap harus melaksanakan kegiatan merger. Dan kegiatan merger ini sebenarnya adalah merger Single Present Policy (SPP) pemilik yang sama di pulau utama," lanjutnya.

Tedy menambahkan, tantangan terbesar adalah masalah kendali. Sebagai contoh, jika seorang pemilik memiliki BPR di pulau utama seperti Sumatera atau Jawa, akan ada kendala dalam pengambilan keputusan dan monitoring.

"Karena hal ini tidak hanya terkait dengan kemampuan internal BPR/S, terutama dalam menyiapkan infrastruktur teknologi digitalisasi, tapi juga bergantung pada sistem atau jaringan di Indonesia yang belum sepenuhnya sempurna," jelasnya.

Ia menggambarkan bagaimana hal tersebut bisa menimbulkan tantangan di daerah. Misalnya, jika satu BPR berada di Jakarta, dan pemilik yang sama juga memiliki BPR di Purwokerto atau Banyuwangi, tantangan kendali menjadi lebih kompleks. "Saya hanya berpikir, bagaimana ini bisa diadaptasi karena ini tidak mudah rentan kendalinya," ucap Tedy.

Tedy juga menyoroti kesulitan dalam menyatukan budaya perusahaan yang berbeda saat melakukan merger. Namun, ia mengatakan bahwa BPR yang dimiliki oleh holding relatif beruntung karena tantangan tersebut tidak terlalu besar, kecuali perbedaan gaya kepemimpinan.

Meski begitu, kebijakan ini memiliki sisi positif. "Ini menjadi kesempatan bagi manajemen untuk melakukan reorganisasi. Tahap pertama reorganisasi di level kepemimpinan: komisaris dan direksi. Tahap berikutnya di level staf, bagaimana memilih SDM yang tepat," jelasnya.

Mengenai kekhawatiran akan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK), Tedy menegaskan bahwa bank bukanlah pabrik, melainkan lembaga kepercayaan. "Perbarindo mendorong BPR/S yang melakukan merger untuk tidak melakukan PHK, karena ini berkaitan dengan reputasi dan kepercayaan nasabah," ujarnya.

Lebih lanjut, Tedy menyebutkan bahwa dalam proses merger, mungkin ada beberapa pihak yang tidak siap dan memilih mundur. "Namanya merger pasti akan ada tantangan, tetapi keberhasilan datang dari proses ini. Mungkin butuh waktu 2-3 tahun untuk menyesuaikan," tambahnya.

Menurutnya, jika kedua BPR yang bergabung berada dalam satu grup dan memiliki kinerja yang baik, proses merger akan lebih mudah. Tantangan utama terletak pada bagaimana melakukan reorganisasi dan membangun kompetisi di antara mereka.

Terakhir, Tedy menegaskan bahwa setiap tantangan membawa peluang, dan industri BPR perlu memenuhi prinsip Governance, Risk, and Compliance (GRC). Ia juga berpesan agar BPR/S yang melakukan merger tetap berpegang pada visi dan misi mendukung UMKM, yang merupakan mitra strategis lembaga tersebut.

Standard Post with Image
bank umum

Suku Bunga Acuan Turun, Perbankan Masih Was Was Dengan Kondisi Ini

 BPRNews.id  - Meskipun suku bunga acuan global dan domestik telah dipangkas, likuiditas masih menjadi isu utama bagi perbankan di Indonesia, terutama dengan meningkatnya permintaan pembiayaan. The Federal Reserve (Fed)  baru-baru ini menurunkan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebesar 50 basis poin ke kisaran 4,75%-5%, dan Bank Indonesia (BI) juga telah memotong suku bunga acuannya menjadi 6%. Namun, efek penurunan ini terhadap likuiditas perbankan belum sepenuhnya dirasakan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa rasio loan to deposit ratio (LDR) perbankan Indonesia meningkat dari 86,51% di bulan Juli menjadi 86,80% di Agustus 2024. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memutuskan untuk mempertahankan tingkat bunga penjaminan (TBP) pada 4,25% untuk tabungan berdenominasi rupiah di bank umum hingga Januari 2025, meskipun beberapa bank besar, seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), sudah mulai menurunkan suku bunga deposito.

Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), Darmawan Junaidi, menyatakan bahwa penurunan suku bunga kredit di bank pelat merah sebagian besar sudah terjadi karena bank tersebut menggunakan suku bunga referensi (reference rate). Penurunan suku bunga ini berdampak langsung pada kredit baru, namun untuk kredit lama dengan fixed rate, perubahan akan mengikuti kontrak yang ada. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) juga mengantisipasi penurunan suku bunga di akhir tahun ini, tergantung pada kondisi likuiditas dan penyesuaian dengan instrumen deposito yang mereka tawarkan.

Bank-bank besar lainnya, seperti PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN), menghadapi tantangan dalam menghimpun deposito karena persaingan bunga yang tinggi. Wakil Direktur Utama BTPN, Darmadi Sutanto, menyatakan bahwa bank-bank besar berlomba-lomba menawarkan suku bunga tinggi, sehingga memperketat persaingan dalam memperoleh likuiditas.

Kesimpulannya, meskipun ada penurunan suku bunga, likuiditas di sektor perbankan Indonesia tetap menjadi tantangan. Proses transmisi dari penurunan suku bunga acuan global dan domestik ke suku bunga kredit dan deposito membutuhkan waktu, dengan proyeksi penurunan lebih lanjut akan terlihat pada akhir tahun ini atau pada kuartal II 2025, bergantung pada perkembangan likuiditas di pasar.

Standard Post with Image
bank umum

Disinggung OJK, Bank Permata (BNLI) Bicara Peluang Naik ke KBMI IV

BPRNews.id  - PT Bank Permata Tbk. (BNLI) mengomentari peluang naik kelas ke Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) 4, yang mencakup bank-bank dengan modal inti di atas Rp70 triliun. Direktur Utama Bank Permata, Meliza M. Rusli, menyatakan bahwa perseroan telah menunjukkan pertumbuhan positif selama beberapa tahun terakhir dan berkomitmen untuk mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan. "Ini mungkin yang akan kami terus pertahankan, pertumbuhan yang lebih sustainable," ujar Meliza di Jakarta Pusat, Kamis (10/10/2024).

Saat ini, modal inti Bank Permata berada di kisaran Rp50 triliun, dan untuk mencapai KBMI 4, perseroan perlu menambah sekitar Rp20 triliun. Meliza optimis bahwa hal ini dapat dikejar melalui peningkatan profitabilitas dan perkembangan kondisi ekonomi makro. Ia juga mengaitkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dari pemerintahan baru sebagai faktor kunci dalam pencapaian tersebut. "Jika kita bisa tumbuh seperti itu, tentu kita bisa mencapai [KBMI 4] dalam waktu 5 sampai 8 tahun," jelasnya, meskipun ia tidak menutup kemungkinan prosesnya bisa lebih cepat atau lebih lambat tergantung situasi ekonomi.

Bank Permata baru-baru ini juga mengganti logonya menjadi bunga lotus, yang mencerminkan identitas pemegang saham pengendali mereka, Bangkok Bank. OJK, melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Dian Ediana Rae, mengapresiasi kontribusi Bank Permata dan berharap bank tersebut dapat terus memperkuat permodalannya serta berkontribusi lebih besar pada perekonomian nasional

Menurut data, modal inti (tier 1) Bank Permata per Juni 2024 tercatat sebesar Rp48,71 triliun. Sementara itu, OJK telah mengkategorikan bank ke dalam empat kelompok KBMI berdasarkan tingkat permodalan, di mana KBMI 4 melibatkan bank-bank dengan modal inti di atas Rp70 triliun.

Standard Post with Image
bank umum

Total Aset Perbankan di Sulsel Capai Rp198,95 Triliun, Tumbuh 7,78 Persen dari Tahun Sebelumnya

BPRNews.id  - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) mencatat pertumbuhan yang positif di sektor perbankan hingga Agustus 2024. Total aset perbankan di wilayah ini mencapai Rp198,95 triliun, meningkat sebesar 7,78 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dana pihak ketiga (DPK) juga mengalami pertumbuhan sebesar 8,61 persen (yoy) dengan nilai mencapai Rp133,64 triliun.

Kepala OJK Sulselbar, Darwisman, menyampaikan bahwa kredit yang disalurkan perbankan di Sulsel meningkat sebesar 7,68 persen (yoy), dengan total nominal mencapai Rp162,32 triliun. Dari total kredit tersebut, mayoritas adalah kredit produktif, yaitu sebesar 55,04 persen. Sektor perdagangan besar dan eceran menjadi penerima kredit terbesar dengan porsi 23,82 persen, atau senilai Rp38,66 triliun.

Secara keseluruhan, penyaluran kredit dari bank umum mencapai Rp159,17 triliun, sementara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyumbang Rp3,14 triliun. Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan Sulsel berada di level 123,72 persen, dengan rasio kredit bermasalah (NPL) yang masih aman di angka 2,98 persen.

Perbankan syariah di Sulsel juga menunjukkan kinerja yang kuat dengan pertumbuhan aset sebesar 16,86 persen (yoy) menjadi Rp15,54 triliun. Penghimpunan DPK perbankan syariah meningkat tajam sebesar 21,10 persen, mencapai Rp11,26 triliun, dan penyaluran pembiayaan tumbuh 17,22 persen menjadi Rp13,26 triliun. Tingkat intermediasi perbankan syariah berada di level 117,72 persen, dengan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) yang tetap aman di 2,26 persen.

Perkembangan ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat tantangan di ekonomi global, sektor perbankan di Sulselbar tetap solid dan berkembang, baik di sektor konvensional maupun syariah.

Standard Post with Image
REGULATOR

Kemenkop UKM Dorong Pembentukan LPS untuk Koperasi melalui Revisi UU

BPRNews.id - Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) mendorong pembentukan lembaga penjamin simpanan (LPS) khusus untuk koperasi melalui revisi Undang-Undang Perkoperasian. Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop UKM, Ahmad Zabadi, menyampaikan dalam jumpa pers di Jakarta, “Dengan adanya LPS, simpanan anggota koperasi akan lebih aman, bahkan jika koperasi mengalami kesulitan keuangan.”

Ahmad menekankan pentingnya LPS sebagai penjamin simpanan anggota, khususnya saat koperasi menghadapi goncangan likuiditas. “Anggota akan merasa terlindungi karena simpanannya dijamin oleh LPS,” tambahnya. Ia mencatat bahwa sekitar 60-70 persen koperasi di Indonesia bergerak di sektor keuangan, sehingga keberadaan LPS sangat dibutuhkan.

Dalam RUU Perkoperasian yang sedang dibahas, pemerintah juga berencana menerapkan sanksi pidana bagi pihak-pihak yang merugikan koperasi. Ahmad menjelaskan, “Selain sanksi pidana, RUU ini juga mengatur komite mitigasi untuk menangani masalah koperasi yang mengalami kesulitan.”

Kemenkop UKM juga berupaya memperkuat pengawasan koperasi guna mencegah praktik yang merugikan. Ahmad menjelaskan, “Salah satu kendala utama dalam pengawasan adalah pembagian tanggung jawab yang terpecah antara berbagai tingkat pemerintahan.” Saat ini, pengawasan koperasi terbagi berdasarkan wilayah, yang dinilai kurang efektif.Meskipun Kemenkop UKM telah menginisiasi perubahan UU sejak awal 2023, Ahmad mengungkapkan bahwa RUU tersebut belum berhasil dibahas oleh DPR RI hingga akhir masa jabatan, padahal pembahasan direncanakan dimulai pada Oktober 2023.

 

 

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by BPR News