Bprnews.id - PT Bank IBK Indonesia Tbk. (AGRS), bank yang merupakan hasil kerjasama dengan investor Korea Selatan, berencana untuk melakukan penambahan modal melalui hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD) atau right issue sebanyak 11,7 miliar lembar saham. Right issue ini diharapkan dapat memperkuat modal Bank IBK Indonesia.
Bank IBK Indonesia berencana mengeluarkan 11,7 miliar lembar saham baru dengan nilai nominal Rp100 per saham. Jumlah saham yang akan diterbitkan akan ditentukan berdasarkan kebutuhan dana perseroan dan harga pelaksanaan saat Penawaran Umum Terbatas VI.
Sebelum right issue dilaksanakan, Bank IBK Indonesia akan mengajukan permintaan persetujuan kepada para pemegang saham melalui rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) yang dijadwalkan pada 13 Februari 2024.
"Dengan adanya peningkatan modal, struktur permodalan perseroan akan menjadi lebih baik dan perseroan akan memiliki pendanaan yang cukup untuk menjalankan strategi usahanya," tulis Manajemen Bank IBK Indonesia di keterbukaan informasi pada Jumat (5/1/2024).
Dana yang diperoleh dari right issue akan digunakan untuk keperluan modal kerja perseroan. Peningkatan modal diharapkan dapat memperkuat struktur permodalan perseroan dan memberikan cukup pendanaan untuk menjalankan strategi bisnisnya.
Dengan dilaksanakannya right issue, saham yang dikeluarkan perseroan dapat mengalami dilusi hingga maksimal 23,65%.
Berdasarkan data per 30 November 2023, pemegang saham pengendali, yaitu Industrial Bank of Korea, memiliki kepemilikan saham sebesar 93,24%. Sedangkan, porsi saham publik atau free float hanya mencapai 6,71%.
Bank IBK Indonesia telah mencatatkan pertumbuhan laba yang signifikan hingga kuartal III/2023, yaitu sebesar 120,98% secara tahunan (year-on-year), mencapai Rp154,91 miliar.
Right issue ini menjadi strategi perusahaan untuk memperoleh tambahan modal yang dapat mendukung ekspansi dan kegiatan operasionalnya.
Dengan meningkatnya modal, diharapkan Bank IBK Indonesia dapat menghadapi tantangan bisnis dengan lebih baik dan mewujudkan pertumbuhan yang berkelanjutan.
Bprnews.id - Dugaan praktik kredit fiktif di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sarana Utama Multidana (SUM) menjadi sorotan media setelah disinyalir adanya persekongkolan antara oknum pegawai bank dan sejumlah pengusaha.
Kasus ini bermula ketika para korban, yang merupakan pengurus angkot milik PT AJM, diminta Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) oleh oknum pegawai bank, Romi dan Ari, dengan alasan hanya untuk data sopir.
Identitas pribadi para korban diduga sengaja digunakan oleh oknum pegawai bank untuk memperoleh fasilitas kredit dari Bank BPR tanpa izin yang bersangkutan. Para korban kesulitan mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan lain karena data pribadi mereka tercatat dalam daftar tagihan debitur di Bank BPR.
"Diketahui sejauh ini para Korban nyaris kesulitan untuk mendapatkan pinjaman dari jasa keuangan, sebab data pribadi korban 5ampak tercatat dalam lembaran Daftar tagihan Debitur di Bank BPR," kata Ajiji salah Seorang pengurus Kepada wartawan Minggu (7/1/2024)
Beberapa nama korban tampak tercatat dalam daftar tagihan debitur di Bank BPR atas kredit kendaraan roda empat Daihatsu 2011. Ajiji, salah satu pengurus, menyebut bahwa sejumlah korban merasa dirugikan karena tidak pernah mengajukan kredit di bank tersebut. Munculnya data korban dalam catatan debitur Bank BPR menimbulkan kecurigaan terhadap praktik kredit fiktif.
Sejumlah korban, seperti MGN dan RTH, mengungkapkan bahwa mereka tidak pernah mengajukan kredit di Bank BPR, dan pada saat yang bersamaan, kendaraan roda empat atas nama mereka tercatat dalam daftar tagihan debitur. Para korban menuntut pertanggungjawaban dari pihak bank atas dugaan penggunaan data pribadi mereka dalam praktik kredit fiktif.
Upaya konfirmasi kepada owner PT Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Sarana Utama Multidana (SUM), Rosa, dan Direktur PT Alma Jaya Mandiri (AJM), Arif, tidak membuahkan hasil karena keduanya tidak memberikan respons. Kasus ini menjadi perhatian media dan masyarakat terkait potensi praktik tidak etis dalam sektor perbankan.
Bprnews.id - Perusahaan fintech, Komunal, telah berhasil meraih pendanaan seri A+ sebesar Rp 85 miliar pada akhir tahun 2023.
Pendanaan ini dipimpin oleh Sumitomo Corporation Equity Asia, dengan partisipasi dari beberapa perusahaan modal ventura, antara lain Jafco Asia, Skystar Capital, Sovereign Capital, dan Gobi Partners.
"Komunal memberdayakan BPR dengan platform One-stop Banking-as-a- Service (BaaS) yang akan berperan penting dalam memperluas ketersediaan kredit untuk UMKM yang dapat membuka potensi ekonomi yang besar di kota tier 2 dan 3 di Indonesia," ujae Perwakilan Sumitomo Corporation Equity Asia, Alan Tang dikutip dalam keterangan tertulis, Minggu, 7 Januari 2024.
Komunal memiliki fokus pada peningkatan inklusi keuangan dengan mendorong digitalisasi BPR-BPR di Indonesia.
Perwakilan Sumitomo Corporation Equity Asia, Alan Tang, menyatakan bahwa Komunal berperan penting dalam membuka potensi ekonomi besar di kota-kota tier 2 dan 3 di Indonesia.
Komunal bekerja sama dengan 376 BPR di seluruh Indonesia untuk menyalurkan pinjaman usaha kepada UMKM.
Melalui anak usahanya, DepositoBPR by Komunal, masyarakat dapat menempatkan deposito secara digital di ratusan BPR di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2023, Komunal berhasil menyalurkan pinjaman dan deposito senilai total Rp 9 triliun, meningkat hampir tiga kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Melalui KomunalP2P, perusahaan menyalurkan pinjaman usaha senilai Rp 3,8 triliun kepada lebih dari 1.300 proyek UMKM di seluruh Indonesia.
Sementara melalui DepositoBPR by Komunal, dana deposito senilai Rp 5,2 triliun disalurkan ke lebih dari 330 BPR & BPRS di Indonesia.
Dengan pendanaan seri A+ ini, Komunal berkomitmen untuk terus mendorong inklusi keuangan di Indonesia melalui digitalisasi BPR.
"Kami sangat bersyukur atas pencapaian ini dan berharap angka-angka ini juga merefleksikan banyak masyarakat yang mendapatkan faedah secara langsung dan tidak langsung," kata Co-Founder & Chief Executive Officer (CEO) Komunal, Hendry Lieviant.
Mereka akan mengembangkan produk dan layanan, serta menjalin lebih banyak kemitraan dengan BPR, terutama di luar Jawa dan Bali.
Komunal percaya bahwa digitalisasi BPR memiliki peran kunci dalam meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia, khususnya bagi UMKM di kota-kota tier 2 dan 3 yang memiliki potensi besar namun masih underserved.
Bprnews.id - Bank BPR Wijaya Kusuma mengalami kebangkrutan pada awal 2024 disebabkan oleh tata kelola yang bermasalah.
Sejak pertengahan 2023, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memantau bank tersebut karena tata kelola yang tidak memadai.
Pada 18 Juli 2023, OJK menetapkan status BPR Wijaya Kusuma sebagai pengawasan bank dalam penyehatan dengan jangka waktu 12 bulan karena tidak memenuhi tingkat permodalan dan tingkat kesehatan sesuai ketentuan.
Pada 13 Desember 2023, OJK mengubah status BPR Wijaya Kusuma menjadi pengawasan bank dalam resolusi.
Status ini diberlakukan setelah OJK memberikan waktu yang cukup kepada pemegang saham, Dewan Komisaris, dan Direksi BPR untuk melakukan upaya penyehatan, namun upaya tersebut tidak berhasil.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan dan meminta OJK untuk mencabut izin usaha BPR Wijaya Kusuma. OJK kemudian mencabut izin usaha pada awal 2024 sesuai dengan Keputusan Anggota Dewan Komisioner OJK Nomor KEP-1/D.03/2024 tanggal 4 Januari 2024.
Dengan pencabutan izin usaha ini, LPS pun kemudian menjalankan fungsi penjaminan dan melakukan proses likuidasi.
"OJK mengimbau nasabah BPR agar tetap tenang karena dana masyarakat di perbankan termasuk BPR dijamin LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku," tulis OJK dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (4/12/2023).
Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank LPS Suwandi mengatakan izin BPR Wijaya Kusuma memang telah dicabut oleh OJK terhitung sejak tanggal 4 Januari 2024.
“Penyebabnya ada kelemahan tata kelola baik dalam penyaluran kredit maupun penghimpunan dana masyarakat,” ungkapnya, Kamis (4/1/2024).
Dengan kebangkrutan BPR Wijaya Kusuma, jumlah bank yang mengalami kebangkrutan di Indonesia bertambah menjadi sekitar 123 sejak tahun 2005, dimana sebagian besar merupakan BPR.
Selama tahun lalu, empat BPR lainnya juga mengalami kebangkrutan, yakni BPR Persada Guna, BPR Indotama UKM Sulawesi, BPR Rakyat Bagong Inti Marga (BPR BIM), dan Perumda BPR KRI. Semua keempat BPR tersebut dilikuidasi oleh LPS.
Sepanjang tahun lalu, terdapat empat bank bangkrut di Indonesia, yang semuanya merupakan BPR dan dilikuidasi oleh LPS.
Bprnews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa penutupan izin BPR Wijaya Kusuma pada 4 Januari 2024 merupakan bagian dari implementasi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), yang memberikan penguatan baru kepada BPR
Keputusan ini merupakan bagian dari konsekuensi dari Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK), yang memberikan penguatan baru kepada BPR yang sebelumnya tidak dimiliki.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengatakan bahwa penyesuaian ini tidak mudah dan memerlukan persiapan regulasi dan sistem pengawasan yang baik.
"Tentu penyesuaian ini tidak mudah karena harus dipersiapkan segala regulasi dan sistem pengawasannya dengan baik," ujar Dian dalam pesan tertulisnya, dikutip Senin (8/1/2024).
Dian juga menyebut adanya "parasit" dalam sistem perbankan, termasuk BPR, dan menyatakan bahwa parasit tersebut harus dibersihkan. Ia menegaskan bahwa BPR yang memiliki masalah fraud akan ditindak dan diserahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) serta aparat penegak hukum.
"Parasit dalam sistem perbankan, termasuk BPR harus dibersihkan," kata Dian.
Meskipun belum ada angka pasti mengenai jumlah BPR yang akan ditutup sepanjang tahun ini,
Dian menyatakan bahwa OJK akan mengeluarkan peta jalan pengembangan dan penguatan BPR.
Aturan baru yang dikeluarkan tahun lalu dan yang akan dikeluarkan pada tahun 2024 akan menjadi bagian dari peta jalan tersebut.
Tujuannya adalah menjadikan BPR sebagai bank andalan rakyat yang bisa dipercaya, efisien, dan memberikan kontribusi ekonomi yang semakin meningkat.
Dian juga mengingatkan bahwa tren penutupan BPR dimulai setelah UU PPSK disahkan pada awal tahun 2023, dan potensi penutupan BPR yang melakukan fraud bisa semakin banyak.
"Saya ingin segera beres, dan BPR yang tersisa itu hanya BPR-BPR yang sehat, sehingga masyarakat akan terlayani dengan baik, dan pertumbuhan ekonomi kerakyatan di daerah-daerah akan terpacu," kata Dian.
Sementara itu, ia sebelumnya mengatakan berdasarkan kajian otoritas dalam 5 tahun ke depan jumlah BPR akan berkurang hingga lebih dari 400 entitas. Dengan demikian, diperkirakan hanya akan tersisa 1.000 BPR pada 2027.
Ia berharap agar BPR yang tersisa setelah proses konsolidasi menjadi entitas yang sehat dan mampu memberikan pelayanan baik kepada masyarakat, serta mendorong pertumbuhan ekonomi kerakyatan di daerah-daerah.