BPRNews.id - Sebanyak 10 bank pembangunan daerah (BPD) di Indonesia akan membentuk kelompok usaha bank (KUB) guna memperkuat permodalan, menindaklanjuti kebijakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menetapkan modal inti minimum (MIM) paling sedikit Rp3 triliun paling lambat pada 31 Desember 2024.
"Dalam rangka konsolidasi BPD, pada posisi 29 Februari 2024, terdapat 10 BPD yang akan membentuk KUB, dengan empat calon bank induk/pelaksana bank induk," ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae.
Dian menjelaskan bahwa dari 10 BPD tersebut, satu BPD telah menyelesaikan proses perizinan di OJK, satu BPD sedang dalam tahap penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS), lima BPD telah menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU), dan tiga BPD sedang dalam tahap penjajakan dengan calon bank induk.
OJK berupaya agar bank milik pemerintah daerah dapat memenuhi MIM paling sedikit Rp3 triliun sebelum batas waktu yang ditetapkan. Salah satu langkah yang diambil adalah melalui konsolidasi BPD dalam bentuk kelompok usaha bank.
Selain memastikan komitmen dan kinerja bank induk, OJK juga menetapkan bahwa bank induk harus memiliki kapasitas dan kapabilitas yang memadai untuk mendukung anggota KUB dalam penguatan permodalan dan likuiditas.
Menurut Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, pertumbuhan ekonomi daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional, dengan BPD memegang peran penting dalam mendukung pertumbuhan perekonomian lokal.
OJK mencatat bahwa aset BPD terus meningkat terhadap total aset perbankan nasional, menunjukkan pentingnya peran BPD dalam perekonomian daerah.
Untuk mendukung penguatan BPD dan perekonomian daerah, OJK melakukan langkah penguatan dan konsolidasi BPD serta memprioritaskan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah melalui seluruh kantor OJK di wilayah kerjanya masing-masing.
BPRNews.id - Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Sophia Wattimena, menekankan pentingnya penguatan peran profesi manajemen risiko di sektor jasa keuangan mengingat perkembangan industri jasa keuangan dan perekonomian yang sangat cepat.
"Setiap risiko di era kini terkoneksi satu sama lain dan memiliki pola yang kompleks, saling terhubung dan mempengaruhi bisnis industri, pemerintah, maupun masyarakat," ujar Sophia yang juga merangkap sebagai Ketua Dewan Audit OJK.
Sophia menjelaskan bahwa isu-isu seperti cyber security, business continuity, dan human capital menjadi tiga top risks di organisasi di regional Asia Pasifik. Di Indonesia, terkait dengan keberlanjutan bisnis dan human capital, ditambah dengan risiko perlambatan ekonomi, menjadi fokus utama risiko.
Dalam "Kick Off Meeting Profesi Manajemen Risiko Sektor Jasa Keuangan Tahun 2024" di Jakarta, Sophia menekankan pentingnya penguatan integritas dan kompetensi profesi bidang manajemen risiko di industri jasa keuangan untuk meningkatkan kualitas pencegahan risiko.
"Kick-Off Meeting" tersebut adalah kegiatan tahunan dari Indonesia Risk Management Professional Association (IRMAPA) yang bertujuan untuk memberikan orientasi kepada praktisi serta profesional manajemen risiko di sektor jasa keuangan.
Sophia juga mengingatkan berbagai tantangan risiko yang dihadapi sektor jasa keuangan tahun ini, termasuk terkait dengan kebijakan stimulus COVID-19 yang akan berakhir, penguatan permodalan lembaga jasa keuangan, dan implementasi standar baru terkait APU PPT serta Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal.
Sebagai regulator, OJK terus berupaya menguatkan sektor jasa keuangan melalui kebijakan-kebijakan, termasuk fungsi governance, risk, and compliance (GRC), sambil memperhatikan tantangan interkoneksi dan kompleksitas risiko yang terus berkembang. Kolaborasi dan sinergi dengan semua pemangku kepentingan, termasuk profesi manajemen risiko, juga menjadi fokus dalam upaya memperkuat kompetensi di bidang GRC dan teknologi informasi, dengan tetap menjaga prinsip governansi yang baik, integritas, dan keberlanjutan.
BPRNews.id - Sejumlah bank digital di Indonesia menawarkan bunga deposito tinggi hingga 8,75% untuk menarik simpanan nasabah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turun tangan dan mendorong penerapan pelindungan nasabah dalam konteks ini.
Menurut laman resmi OJK, beberapa bank digital seperti PT Bank Jago Tbk. (ARTO) menawarkan bunga deposito sebesar 5% per tahun. PT Allo Bank Tbk. (BBHI) menawarkan deposito dengan suku bunga mulai dari 4% hingga 6%, sementara SeaBank dan Superbank menawarkan bunga simpanan sebesar 6%. PT Bank Neo Commerce Tbk. (BYBB) juga menghadirkan produk deposito Neo WOW dengan bunga hingga 8%. Tidak ketinggalan, PT Krom Bank Indonesia Tbk. (BBSI) menawarkan produk simpanan dengan suku bunga tinggi hingga 8,75%.
Bunga yang ditawarkan oleh bank digital ini berada di atas tingkat bunga penjaminan yang ditentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), yang pada periode Februari-Mei 2024 sebesar 4,25%. Hal ini berarti simpanan nasabah tersebut tidak masuk dalam program penjaminan LPS.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengungkapkan bahwa OJK terus mendorong penerapan pelindungan nasabah, terutama terkait transparansi, edukasi konsumen, serta pengawasan dan regulasi.
"OJK senantiasa mendorong perbankan untuk memberikan informasi yang jelas dan lengkap tentang produk mereka, termasuk apakah suatu produk dijamin oleh LPS atau tidak," kata Dian Ediana Rae dalam keterangan tertulis.
Lebih lanjut, Dian menekankan pentingnya edukasi keuangan bagi nasabah guna membuat keputusan yang informasi tentang produk keuangan yang mereka gunakan.
Sementara itu, Purbaya Yudhi Sadewa, Ketua Dewan Komisioner LPS, mengatakan alasan bank digital menawarkan suku bunga tinggi karena persaingan dan ekspansi bisnis yang menginginkan penghimpunan dana untuk menopang ekspansi kredit yang lebih masif.
"Dalam rangka kompetisi dan ekspansi bisnis, beberapa bank digital memberikan iming-iming bunga simpanan tinggi," tutur Purbaya Yudhi Sadewa.
OJK dan LPS terus mengawasi perkembangan ini untuk memastikan bahwa nasabah mendapatkan perlindungan yang memadai dan transparansi dalam transaksi keuangan mereka.
BPRNews.id - Meningkatnya kebutuhan menjelang Lebaran seringkali diiringi dengan peningkatan penyaluran pembiayaan oleh perusahaan teknologi keuangan (tekfin) peer to peer (P2P) lending atau yang lebih dikenal sebagai pinjaman online (pinjol). Namun, menanggapi hal ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan belum ada data konkret terkait pembiayaan tekfin P2P lending untuk Ramadan tahun ini.
Kepala OJK Perwakilan DIY, Parjiman, menjelaskan bahwa meskipun tahun lalu terjadi peningkatan penyaluran pembiayaan P2P lending pada bulan Maret 2023 di DIY, namun angka tersebut turun pada bulan April dan naik lagi di bulan-bulan berikutnya. "Maret [2023] sebesar Rp312 miliar, namun kembali turun pada April menjadi sebesar Rp282 miliar, dan kembali naik di bulan-bulan berikutnya," ucap Parjiman, Jumat (15/03/2024).
Sementara itu, OJK DIY mencatat Tingkat Wan Prestasi (TWP90) P2P lending sebesar 3,32%, mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya sebesar 2,57%.
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK, Agusman, menjelaskan bahwa jelang Lebaran biasanya terjadi peningkatan kebutuhan dana di masyarakat.
Berdasarkan data historis dua tahun terakhir, pada Maret 2022, terjadi peningkatan penyaluran pinjaman P2P lending yang signifikan mencapai Rp23,07 triliun dalam satu bulan. Namun, pada 2023, tidak terjadi peningkatan penyaluran pinjaman pada industri P2P lending menjelang Ramadan. "Sehingga belum dapat disimpulkan adanya pengaruh bulan Ramadan terhadap penyaluran pinjaman P2P lending," ucapnya.
Agusman menambahkan bahwa OJK terus memantau perkembangan TWP90 industri P2P lending. Per Januari 2024, angka TWP90 berada pada level 2,95%, dan OJK berupaya menjaga agar angka tersebut tetap terkendali di bawah 5%. "Kami mengimbau seluruh penyelenggara dapat terus memperhatikan mitigasi risiko dan melakukan penguatan credit scoring sehingga kualitas pendanaan tetap terjaga," tambahnya.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan dukungannya terhadap penguatan permodalan lembaga jasa keuangan sebagai langkah penting dalam menjaga stabilitas sektor jasa keuangan di tengah ketidakpastian global.
Ketua Dewan Audit OJK, Sophia Isabella Wattimena, menyampaikan bahwa tantangan risiko yang dihadapi sektor jasa keuangan pada tahun 2024 termasuk berakhirnya kebijakan stimulus COVID-19 serta perlunya penguatan permodalan lembaga jasa keuangan.
"Penguatan permodalan diperlukan untuk mendukung transformasi proses bisnis, baik secara mandiri maupun melalui konsolidasi," ujar Sophia di Jakarta, Sabtu.
Sophia juga menyoroti tantangan risiko lainnya yang dihadapi sektor jasa keuangan, seperti penerapan standar akuntansi keuangan baru, penerapan dan penegakan hukum Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU PPT), serta Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal sehubungan dengan keanggotaan penuh Indonesia pada Financial Action Task Force (FATF).
OJK sebagai regulator terus berupaya menguatkan sektor jasa keuangan melalui berbagai kebijakan, termasuk fungsi Governance, Risk, and Compliance (GRC). Kolaborasi dan sinergi antar pemangku kepentingan juga ditingkatkan untuk memperkuat kompetensi di bidang GRC dan teknologi informasi serta memberikan nilai tambah yang optimal bagi seluruh pemangku kepentingan dengan menjaga prinsip governansi yang baik dan integritas.
Sophia menekankan bahwa penguatan peran profesi manajemen risiko sangat penting mengingat perkembangan industri jasa keuangan yang cepat. "Setiap risiko di era kini terkoneksi satu sama lain dan memiliki pola yang kompleks," tambahnya.
Isu terkait keberlanjutan bisnis, cyber security, dan sumber daya manusia (SDM) menjadi fokus utama risiko di organisasi di regional Asia Pasifik. Di Indonesia, risiko perlambatan ekonomi juga menjadi perhatian serius.
OJK berkomitmen untuk mendorong penguatan integritas dan kompetensi profesi bidang manajemen risiko di industri jasa keuangan guna meningkatkan kualitas pencegahan risiko dan menjaga stabilitas sektor keuangan secara keseluruhan.