BPRNews.id - Bank Indonesia akan mengadakan acara SERUMBI (Semarak UMKM dan Keuangan Digital Bank Indonesia) 2024 pada tanggal 11-13 Oktober 2024 di Benteng Oranje, Ternate. Acara ini akan melibatkan 54 UMKM yang beragam, mulai dari produk fashion hingga makanan dan minuman.
UMKM yang ikut serta mencakup berbagai sektor, termasuk fashion, makanan siap saji, dan makanan olahan. Selain itu, acara ini juga bekerja sama dengan beberapa bank dan lembaga terkemuka yang menyediakan layanan selama SERUMBI.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Karya Kreatif Indonesia (KK), Gerakan Bangga Buatan Indonesia, dan Gerakan Bangga Berwisata di Provinsi Maluku Utara. Pemerintah Provinsi Maluku Utara dan Kementerian Desa serta Pembangunan Desa Tertinggal menjadi tuan rumah utama untuk acara ini.
"Kegiatan ini juga ikut menyemarakkan Harvesting GBB dan BBW Provinsi Maluku Utara. Yang juga dirangkaikan dengan Hari Ulang Tahun ke-25 Provinsi Maluku Utara, 12 Oktober 2024," jelas Erlangga Febrianno, Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Maluku Utara.
Tujuan dari program SERUMBI adalah untuk memperkenalkan UMKM yang dibina oleh Kantor Perwakilan BI Provinsi Maluku Utara. Fokusnya adalah meningkatkan kehadiran UMKM dalam ekosistem digital, memperbanyak transaksi penjualan (baik offline maupun online), serta memperluas akses ke pasar. Selain itu, program ini juga memberikan pendampingan dalam memulai dan mengembangkan jiwa kewirausahaan.
"Kegiatan SERUMBI juga dirangkaikan dengan berbagai kampanye pengembangan keuangan digital yang salah satunya melalui QRIS," tambah Erlangga.
Acara ini akan terdiri dari tiga kegiatan utama : SERUMBI FAIR, SERUMBI Talkshow, dan SERUMBI Competition. SERUMBI Fair akan menampilkan UMKM binaan dan mitra Bank Indonesia yang telah mengikuti seleksi dan pelatihan dari awal tahun 2024 hingga Juli 2024.
bprnews.id - DPD Perhimpunan Bank Perekonomian Rakyat Indonesia (Perbarindo) DKI Jaya dan Sekitarnya menggelar Rapat Kerja Daerah (Rakerda) 2024 di Hotel Oakwood, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, pada Kamis, 10 Oktober 2024.
Pada acara tersebut, DPD Perbarindo mengusung tema "Seminar Dampak Merger/Konsolidasi Terhadap Kondisi Keuangan dan SDM BPR-BPRS". Seminar ini membahas aturan terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yaitu Peraturan OJK Nomor 7 Tahun 2024.
Ketua DPD Perbarindo DKI Jaya dan Sekitarnya, Hendry Palthy, menyatakan bahwa Rakerda kali ini diiringi dengan seminar yang membahas soal POJK tersebut, yang mengatur tentang penguatan aspek kelembagaan di industri BPR dan BPRS sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK).
"Kegiatan hari ini diawali dengan seminar tentang POJK Nomor 7 Tahun 2024. Salah satunya adalah mengenai dampak dari POJK tersebut terkait dengan Single Person Policy (SPP), yaitu satu pemilik, satu BPR, satu pulau," ujar Hendry kepada Radar Depok.
Hendry menjelaskan bahwa aturan baru ini berdampak langsung pada sejumlah BPR di bawah DPD Perbarindo DKI Jaya dan Sekitarnya, sehingga penting untuk mengadakan seminar guna membahas sejauh mana efek dari aturan POJK Nomor 7 Tahun 2024, terutama terkait penggabungan BPR.
"Ada beberapa BPR yang terkena dampak POJK Nomor 7 Tahun 2024 ini, sehingga harus melakukan merger. Jadi seminar ini diadakan untuk mengetahui seberapa besar dampak aturan tersebut terhadap penggabungan," jelasnya.
Dampak positif dari peraturan baru ini, menurut Hendry, adalah meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap industri BPR. "Positifnya adalah menambah kepercayaan masyarakat terhadap industri BPR secara global," tuturnya.
Namun, aturan ini juga membawa dampak negatif, terutama karena penggabungan sejumlah BPR dengan satu pemilik akan menyebabkan pengurangan jumlah direksi setelah merger. "Dalam penggabungan, harus dipilih siapa yang akan tetap menjadi direksi. Sehingga ada kemungkinan direksi yang tadinya menjabat, mungkin tidak lagi menjadi direksi," paparnya.
Secara keseluruhan, Hendry menambahkan bahwa aturan OJK yang baru akan membuka peluang kerja baru karena pertumbuhan industri BPR yang semakin meningkat akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja.
"Dengan meningkatnya kepercayaan terhadap industri BPR, tentu kualitas sumber daya manusia harus ikut ditingkatkan. Karyawan dari level atas hingga paling bawah harus meng-upgrade diri untuk menghadapi penggabungan sesuai POJK Nomor 7 Tahun 2024," pungkasnya.
bprnews.id - Lembaga keuangan Bank Perekonomian Rakyat/Syariah (BPR/BPRS) kini tengah mempertimbangkan opsi merger dengan bank umum yang memiliki modal lebih besar. Langkah ini dilakukan untuk memenuhi ketentuan otoritas jasa keuangan terkait kepemilikan tunggal atau Single Presence Policy (SPP).
Menanggapi hal ini, Ketua DPP Perhimpunan Bank Perekoo ian Rakyat Indonesia (Perbarindo), Tedy Alamsyah, menyampaikan bahwa kebijakan tersebut memiliki sisi positif dan negatif.
"Memang secara organisasi kita keberatan dengan beberapa pertimbangan. Tetapi POJK sudah menetapkan POJK 7 kebijakan konsolidasi yang menganut Single Presence Policy (SPP)," ujar Tedy di sela-sela Rakerda 2024 DPD Perbarindo DKI Jaya dan Sekitarnya di sebuah hotel kawasan TMII, Jakarta Timur, Kamis (10/10).
Menurut Tedy, semua pihak harus melihat keputusan ini sebagai bagian dari perbaikan lembaga keuangan di Indonesia. "Karena ini sudah menjadi satu keputusan dari otoritas. Berarti kita tetap harus melaksanakan kegiatan merger. Dan kegiatan merger ini sebenarnya adalah merger Single Present Policy (SPP) pemilik yang sama di pulau utama," lanjutnya.
Tedy menambahkan, tantangan terbesar adalah masalah kendali. Sebagai contoh, jika seorang pemilik memiliki BPR di pulau utama seperti Sumatera atau Jawa, akan ada kendala dalam pengambilan keputusan dan monitoring.
"Karena hal ini tidak hanya terkait dengan kemampuan internal BPR/S, terutama dalam menyiapkan infrastruktur teknologi digitalisasi, tapi juga bergantung pada sistem atau jaringan di Indonesia yang belum sepenuhnya sempurna," jelasnya.
Ia menggambarkan bagaimana hal tersebut bisa menimbulkan tantangan di daerah. Misalnya, jika satu BPR berada di Jakarta, dan pemilik yang sama juga memiliki BPR di Purwokerto atau Banyuwangi, tantangan kendali menjadi lebih kompleks. "Saya hanya berpikir, bagaimana ini bisa diadaptasi karena ini tidak mudah rentan kendalinya," ucap Tedy.
Tedy juga menyoroti kesulitan dalam menyatukan budaya perusahaan yang berbeda saat melakukan merger. Namun, ia mengatakan bahwa BPR yang dimiliki oleh holding relatif beruntung karena tantangan tersebut tidak terlalu besar, kecuali perbedaan gaya kepemimpinan.
Meski begitu, kebijakan ini memiliki sisi positif. "Ini menjadi kesempatan bagi manajemen untuk melakukan reorganisasi. Tahap pertama reorganisasi di level kepemimpinan: komisaris dan direksi. Tahap berikutnya di level staf, bagaimana memilih SDM yang tepat," jelasnya.
Mengenai kekhawatiran akan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK), Tedy menegaskan bahwa bank bukanlah pabrik, melainkan lembaga kepercayaan. "Perbarindo mendorong BPR/S yang melakukan merger untuk tidak melakukan PHK, karena ini berkaitan dengan reputasi dan kepercayaan nasabah," ujarnya.
Lebih lanjut, Tedy menyebutkan bahwa dalam proses merger, mungkin ada beberapa pihak yang tidak siap dan memilih mundur. "Namanya merger pasti akan ada tantangan, tetapi keberhasilan datang dari proses ini. Mungkin butuh waktu 2-3 tahun untuk menyesuaikan," tambahnya.
Menurutnya, jika kedua BPR yang bergabung berada dalam satu grup dan memiliki kinerja yang baik, proses merger akan lebih mudah. Tantangan utama terletak pada bagaimana melakukan reorganisasi dan membangun kompetisi di antara mereka.
Terakhir, Tedy menegaskan bahwa setiap tantangan membawa peluang, dan industri BPR perlu memenuhi prinsip Governance, Risk, and Compliance (GRC). Ia juga berpesan agar BPR/S yang melakukan merger tetap berpegang pada visi dan misi mendukung UMKM, yang merupakan mitra strategis lembaga tersebut.
BPRNews.id - Meskipun suku bunga acuan global dan domestik telah dipangkas, likuiditas masih menjadi isu utama bagi perbankan di Indonesia, terutama dengan meningkatnya permintaan pembiayaan. The Federal Reserve (Fed) baru-baru ini menurunkan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebesar 50 basis poin ke kisaran 4,75%-5%, dan Bank Indonesia (BI) juga telah memotong suku bunga acuannya menjadi 6%. Namun, efek penurunan ini terhadap likuiditas perbankan belum sepenuhnya dirasakan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa rasio loan to deposit ratio (LDR) perbankan Indonesia meningkat dari 86,51% di bulan Juli menjadi 86,80% di Agustus 2024. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memutuskan untuk mempertahankan tingkat bunga penjaminan (TBP) pada 4,25% untuk tabungan berdenominasi rupiah di bank umum hingga Januari 2025, meskipun beberapa bank besar, seperti PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), sudah mulai menurunkan suku bunga deposito.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI), Darmawan Junaidi, menyatakan bahwa penurunan suku bunga kredit di bank pelat merah sebagian besar sudah terjadi karena bank tersebut menggunakan suku bunga referensi (reference rate). Penurunan suku bunga ini berdampak langsung pada kredit baru, namun untuk kredit lama dengan fixed rate, perubahan akan mengikuti kontrak yang ada. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) juga mengantisipasi penurunan suku bunga di akhir tahun ini, tergantung pada kondisi likuiditas dan penyesuaian dengan instrumen deposito yang mereka tawarkan.
Bank-bank besar lainnya, seperti PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk. (BTPN), menghadapi tantangan dalam menghimpun deposito karena persaingan bunga yang tinggi. Wakil Direktur Utama BTPN, Darmadi Sutanto, menyatakan bahwa bank-bank besar berlomba-lomba menawarkan suku bunga tinggi, sehingga memperketat persaingan dalam memperoleh likuiditas.
Kesimpulannya, meskipun ada penurunan suku bunga, likuiditas di sektor perbankan Indonesia tetap menjadi tantangan. Proses transmisi dari penurunan suku bunga acuan global dan domestik ke suku bunga kredit dan deposito membutuhkan waktu, dengan proyeksi penurunan lebih lanjut akan terlihat pada akhir tahun ini atau pada kuartal II 2025, bergantung pada perkembangan likuiditas di pasar.
BPRNews.id - PT Bank Permata Tbk. (BNLI) mengomentari peluang naik kelas ke Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI) 4, yang mencakup bank-bank dengan modal inti di atas Rp70 triliun. Direktur Utama Bank Permata, Meliza M. Rusli, menyatakan bahwa perseroan telah menunjukkan pertumbuhan positif selama beberapa tahun terakhir dan berkomitmen untuk mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan. "Ini mungkin yang akan kami terus pertahankan, pertumbuhan yang lebih sustainable," ujar Meliza di Jakarta Pusat, Kamis (10/10/2024).
Saat ini, modal inti Bank Permata berada di kisaran Rp50 triliun, dan untuk mencapai KBMI 4, perseroan perlu menambah sekitar Rp20 triliun. Meliza optimis bahwa hal ini dapat dikejar melalui peningkatan profitabilitas dan perkembangan kondisi ekonomi makro. Ia juga mengaitkan target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dari pemerintahan baru sebagai faktor kunci dalam pencapaian tersebut. "Jika kita bisa tumbuh seperti itu, tentu kita bisa mencapai [KBMI 4] dalam waktu 5 sampai 8 tahun," jelasnya, meskipun ia tidak menutup kemungkinan prosesnya bisa lebih cepat atau lebih lambat tergantung situasi ekonomi.
Bank Permata baru-baru ini juga mengganti logonya menjadi bunga lotus, yang mencerminkan identitas pemegang saham pengendali mereka, Bangkok Bank. OJK, melalui Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Dian Ediana Rae, mengapresiasi kontribusi Bank Permata dan berharap bank tersebut dapat terus memperkuat permodalannya serta berkontribusi lebih besar pada perekonomian nasional
Menurut data, modal inti (tier 1) Bank Permata per Juni 2024 tercatat sebesar Rp48,71 triliun. Sementara itu, OJK telah mengkategorikan bank ke dalam empat kelompok KBMI berdasarkan tingkat permodalan, di mana KBMI 4 melibatkan bank-bank dengan modal inti di atas Rp70 triliun.