BPRNews.id - Industri Bank Perekonomian Rakyat (BPR) menghadapi tantangan berat pada 2024 dengan kualitas kredit yang terus memburuk. Salah satu indikatornya adalah rasio Non-Performing Loan (NPL) yang mencatat rekor tertinggi di bulan September, seiring dengan banyaknya BPR yang mengalami kebangkrutan.
Sepanjang 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mencabut izin 15 BPR, termasuk yang terbaru, PT Bank Perekonomian Rakyat (BPR) Nature Primadana Capital. Data OJK menunjukkan rasio NPL BPR pada September 2024 mencapai 11,73%, naik signifikan dibandingkan 10,05% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Tren kenaikan NPL BPR sudah terlihat sejak awal 2024. Pada Januari, angkanya berada di level 10,25% dan terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada September.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyebut kenaikan NPL ini salah satunya dipicu oleh berakhirnya relaksasi pandemi Covid-19 pada Maret 2024. Setelah itu, BPR diwajibkan menyesuaikan kualitas kredit sesuai regulasi terbaru.
"Upaya OJK dalam meningkatkan pengelolaan aset yang senantiasa memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, termasuk evaluasi terhadap permasalahan dan penyelesaian atas pemberian kredit pasca pandemi Covid-19 dengan menerbitkan POJK Nomor 1 Tahun 2024 tentang Kualitas Aset BPR," ujar Dian.
Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo), Tedy Alamysah, mengungkapkan hal serupa. Menurutnya, dampak berakhirnya masa relaksasi restrukturisasi kredit Covid-19 menjadi salah satu faktor utama melonjaknya NPL BPR.
"Kami berharap kondisi ini tidak berlangsung lama. BPR-BPRS terus berupaya memperbaiki kinerjanya baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Harapannya, di akhir tahun tingkat rasio NPL dapat terjaga di bawah 8%," kata Tedy.
Ia juga menambahkan bahwa tantangan yang dihadapi BPR meliputi pertumbuhan ekonomi yang belum memberikan dampak signifikan terhadap kinerja BPR serta persaingan ketat di sektor UMKM.
Di sisi lain, Direktur Utama BPR Hasamitra, I Nyoman Supartha, menyoroti ketidakpastian ekonomi global dan lokal, termasuk kenaikan suku bunga, yang memengaruhi daya beli masyarakat dan kemampuan membayar pinjaman. Namun, ia memastikan kualitas kredit di BPR Hasamitra masih terjaga.
"NPL bruto BPR Hasamitra pada Desember 2023 ada di angka 2,44%. Angka ini terus membaik, dan pada September 2024 turun menjadi 2,25%. Target kami, NPL dapat ditekan hingga 1,5% di akhir tahun," jelas Nyoman.
Untuk menjaga kualitas kredit, Nyoman menyebut pihaknya menerapkan proses penilaian kredit yang ketat, mulai dari analisis mendalam hingga kunjungan lapangan. Langkah-langkah seperti diversifikasi portofolio, pengawasan kredit aktif, dan pendidikan keuangan nasabah juga menjadi bagian dari strategi mitigasi risiko.
BPR di seluruh Indonesia diharapkan dapat memperkuat daya saing dan ketahanan, agar mampu menghadapi tantangan ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
BPRNews.id - Kasus pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) secara ilegal kembali mencuat di Desa Sidomulyo, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. Tumpukan limbah yang diduga termasuk kategori B3 ditemukan di area landfill, diduga ditimbun oleh PT LPS.
Salah satu warga setempat mengungkapkan bahwa limbah tersebut berupa bata isolasi atau bata api bekas pakai. "Limbah bata api itu berasal dari PT AFG, sebuah perusahaan multinasional di Kecamatan Taman. Pembuangannya menggunakan jasa PT LPS. Seharusnya dibuang ke Jepara untuk dimusnahkan, tapi malah ditimbun di sini dan dijual lagi," ujar warga yang enggan disebutkan namanya, Sabtu (30/11/2024).
Menurutnya, limbah yang ditimbun mencapai ratusan kubik dan berpotensi membahayakan lingkungan jika dibiarkan. "Kalau ini terus dibiarkan, bisa mencemari tanah, air, udara, dan jadi sumber penyakit. Bau dari limbahnya juga sangat mengganggu," tambahnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3, bata isolasi bekas termasuk limbah B3 kategori 2 yang harus dimusnahkan sesuai prosedur. Dugaan penimbunan ini telah memunculkan kekhawatiran terkait dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat di sekitar lokasi.
Hingga kini, belum ada tanggapan resmi dari pihak PT LPS maupun PT AFG terkait dugaan ini.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan sektor real estate tidak menunjukkan peningkatan signifikan, tetap stabil di angka 29%. Kondisi ini dinilai kurang optimal mengingat sektor tersebut memiliki potensi besar untuk mendukung perekonomian.
Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, mengungkapkan penurunan terlihat dari penjualan properti di pasar premier pada triwulan III 2024 yang merosot 7,14% secara tahunan, jauh dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 27,30% yoy."Permintaan terhadap perumahan menurun. Padahal potensinya bisa jauh lebih besar," ujar Dian dalam acara "Dialog bersama Asosiasi Pengembang untuk Percepatan Program 3 Juta Rumah" di Jakarta, Jumat (29/11/2024).
Meski harga properti residensial masih mencatat pertumbuhan, lajunya terbatas. Dian menyebut, "Indeks harga residensial pada triwulan III 2024 hanya naik 1,46% yoy, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,76% yoy."
Pertumbuhan harga terbesar terjadi pada rumah tipe kecil, dengan kenaikan 91,79% yoy, sedangkan rumah menengah dan besar meningkat lebih lambat, masing-masing 1,04% dan 1,43% yoy. "Kenaikan harga ini lebih banyak dipengaruhi oleh spekulasi dan kebiasaan masyarakat yang menjadikan properti sebagai investasi, bukan untuk tempat tinggal," jelasnya.Dian juga menyoroti rendahnya daya beli masyarakat akibat upah minimum provinsi yang belum memadai untuk mendukung pembelian rumah. Ia menyebutkan bahwa OJK bersama Bank Indonesia sedang menyusun kebijakan finansial untuk memberikan insentif dan membantu sektor perumahan. "Kami sedang melakukan penyesuaian agar dapat mendorong sektor ini lebih baik," tutupnya.
BPRNews.id - Sepanjang tahun 2024, daftar bank yang bangkrut terus bertambah. Kali ini, giliran PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Kota Juang Perseroda di Kabupaten Bireuen, Aceh, yang harus mengakhiri operasionalnya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencabut izin usaha bank tersebut, menjadikannya bank pertama yang kolaps di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Keputusan ini diumumkan oleh Kepala OJK Provinsi Aceh, Daddi Peryoga, di Banda Aceh. Menurutnya, pencabutan izin usaha ini merupakan bagian dari langkah pengawasan yang dilakukan OJK untuk menjaga stabilitas industri perbankan sekaligus melindungi nasabah.
"Pencabutan izin usaha tersebut merupakan tindakan pengawasan yang dilakukan OJK untuk terus menjaga dan memperkuat industri perbankan serta melindungi konsumen," ungkap Daddi Peryoga pada Sabtu (30/11/2024).
Izin usaha PT BPRS Kota Juang Perseroda dicabut per 29 November 2024, setelah sebelumnya, sejak 13 Maret 2024, bank ini ditetapkan dalam status pengawasan sebagai Bank Dalam Penyehatan (BDP). Penetapan ini didasarkan pada rasio kecukupan modal minimum yang negatif hingga 184,74 persen, cash ratio rata-rata tiga bulan terakhir sebesar 3,53 persen, dan peringkat kesehatan bank yang berada di level lima selama dua periode berturut-turut.
Masuknya BPRS Kota Juang ke tahap bank dalam resolusi pada 12 November 2024 menjadi tanda bahwa pengurus dan pemegang saham gagal melakukan langkah penyehatan yang diberikan waktu cukup oleh OJK. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akhirnya memutuskan untuk tidak menyelamatkan bank tersebut.
OJK meminta masyarakat tetap tenang dan memastikan bahwa dana nasabah dijamin sesuai ketentuan. "OJK mengimbau nasabah PT BPRS Kota Juang Perseroda agar tetap tenang karena dana masyarakat di perbankan termasuk BPRS dijamin LPS sesuai dengan ketentuan yang berlaku," tambah Daddi Peryoga.
Penutupan BPRS Kota Juang menambah daftar panjang bank yang kolaps pada tahun 2024. Sebelumnya, beberapa bank seperti BPR Wijaya Kusuma (Madiun), BPRS Mojo Artho Kota Mojokerto (Mojokerto), BPR Usaha Madani Karya Mulia (Surakarta), dan BPR lainnya juga mengalami hal serupa.
BPRNews.id - Bank Kalsel berhasil memenuhi ketentuan Modal Inti Minimum (MIM) senilai Rp3 triliun, sebagaimana diatur dalam POJK 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum. Pencapaian ini bahkan melampaui target yang ditetapkan, dengan modal inti yang tercatat sebesar Rp3,07 triliun pada Oktober 2024.
Dalam keterangan resmi di Banjarmasin, Jumat, pencapaian ini disebut mencerminkan kesehatan keuangan dan pengelolaan yang solid dari Bank Kalsel. Modal inti tersebut diperoleh secara organik, menunjukkan bahwa bank mampu menghasilkan pertumbuhan melalui kinerja operasional yang optimal tanpa bergantung sepenuhnya pada suntikan dana eksternal. Hal ini menjadi bukti bahwa strategi bisnis yang diterapkan efektif dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan, meskipun menghadapi berbagai tantangan ekonomi.
Direktur Utama Bank Kalsel, dalam konferensi pers pada Selasa (12/11), mengungkapkan bahwa modal inti bank diproyeksikan mencapai Rp3,11 triliun pada Desember 2024. "Modal inti kami terealisasi secara organik sebesar Rp3,07 triliun pada Oktober 2024, dan ini merupakan langkah yang membanggakan untuk memastikan keberlanjutan bisnis ke depan," ujarnya.
Pencapaian ini menegaskan posisi Bank Kalsel sebagai institusi keuangan yang kompetitif di tingkat regional. Dengan terus berkomitmen untuk meningkatkan layanan dan berinovasi, Bank Kalsel diharapkan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi, baik di daerah maupun nasional