BPRNews.id - Sebanyak 137 bank telah ditutup dalam kurun waktu 19 tahun terakhir, berdasarkan data dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mayoritas bank yang ditutup adalah Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) yang telah menyelesaikan proses likuidasi.
Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menyampaikan bahwa data tersebut merupakan akumulasi sejak LPS mulai beroperasi pada tahun 2005 hingga September 2024. "Sejak LPS beroperasi tahun 2005 sampai dengan 30 September 2024, jumlah BPR-BPRS yang telah dilikuidasi adalah 137 bank, yang terdiri dari satu bank umum dan 123 BPR serta 13 BPRS," ujarnya dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI, Rabu (20/11/2024).
Pada tahun 2024, hingga triwulan III, LPS mencatat sebanyak 15 BPR-BPRS dicabut izin usahanya (CIU) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Selain itu, ada 17 BPR-BPRS yang masih dalam proses likuidasi, dengan tambahan dua kasus dari tahun sebelumnya.
Meski demikian, terdapat kabar baik, yaitu satu BPR di Indramayu berhasil dinormalisasi kembali. "Pada tahun 2024 LPS berhasil melakukan penyehatan terhadap satu BPR Indramayu yang sebelumnya ditampilkan oleh OJK sebagai bank dalam resolusi, dan telah kembali menjadi bank normal pada bulan Mei 2024. Ini kasus pertama. Ini juga bisa terjadi karena kerja sama erat antara LPS dengan OJK," jelas Purbaya.
LPS menyelesaikan proses likuidasi dua BPR pada tahun 2024, yakni BPR Pasar Umum dan BPR Persada Guna. Menurut Purbaya, likuidasi ini dilakukan dengan rata-rata waktu penyelesaian selama 15 bulan, menunjukkan efisiensi yang lebih baik.
Selain itu, klaim terhadap nasabah bank yang dicabut izinnya juga dipercepat. "Sampai dengan triwulan III 2024, realisasi pembayaran pertama kali dan sebagian besar atas simpanan layak bayar rata-rata membutuhkan 5 hari kerja sejak pencabutan izin usaha BPR atau BPRS. Ini lebih cepat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya," ungkapnya.
Percepatan ini, menurut Purbaya, bertujuan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. "Kalau dulu kami dikenal sebagai malaikat maut, kalau LPS datang, bank akan jatuh. Sekarang kita jadi sahabat nasabah, Pak. Kalau LPS datang, uang nasabah aman," tutupnya.
BPRNews.id - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tidak memerlukan Peraturan OJK (POJK) sebagai aturan turunan. Regulasi ini memberi kemudahan bagi bank BUMN untuk melakukan penghapusan tagih atas kredit macet Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Wakil Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK, Mirza Adityaswara, menjelaskan bahwa PP tersebut telah disusun berdasarkan amanat Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). Menurutnya, peraturan tambahan tidak diperlukan untuk mengatur detail teknis penghapusan tagih ini.
“Tidak perlu ada peraturan teknis lagi. Sama seperti penghapusan buku, tidak perlu aturan tambahan. Ini hanya soal penghapusan tagih. Bank swasta juga sudah melakukannya tanpa kendala,” ujar Mirza saat ditemui di Padma Hotel Legian, Bali, Selasa (19/11/2024).
Mirza menambahkan, PP ini dibuat untuk menjawab kekhawatiran bank BUMN terkait penghapusan kredit macet UMKM yang sebelumnya dianggap sebagai aset negara. Meski demikian, ia menekankan bahwa bank tetap wajib berupaya menagih sebelum melakukan penghapusan.
“Kalau memang sudah tidak bisa ditagih, misalnya nilainya kecil, kasus lama, atau sudah tergerus inflasi, barulah dihapus. Kalau tidak, data nasabah akan tetap tercatat di SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan), dan mereka jadi tidak bisa mengakses kredit lagi,” jelasnya.
Regulasi ini, menurut Mirza, bertujuan agar proses penghapusan tagih oleh bank BUMN tidak dianggap sebagai kerugian dan dapat dilakukan dengan lebih fleksibel.
BPRNews.id - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) telah menyiapkan anggaran sekitar Rp160 miliar pada tahun 2025 untuk membangun sistem teknologi informasi (IT) bagi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS). Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, menjelaskan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk memperkuat pengelolaan BPR dan BPRS.
“Implementasi sistem ini sudah mulai kami asesmen sejak tahun ini. Pada tahun depan, pilot project akan melibatkan 100 BPR yang akan dipilih,” ungkap Purbaya dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (20/11/2024).
Ia menambahkan, sistem modern ini diharapkan mampu meningkatkan daya saing BPR/BPRS dalam menghadapi bank umum dan perusahaan teknologi finansial (fintech). "Kami ingin agar BPR dan BPRS memiliki sistem yang lebih canggih untuk menunjang operasional bisnis mereka," katanya.
LPS juga akan bekerja sama dengan Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memastikan pengawasan sistem ini berjalan dengan baik. “BPR itu dekat dengan masyarakat, memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Kami harap kemampuan manajemennya juga semakin baik dengan dukungan sistem ini,” jelasnya.
Dari sisi ketahanan modal, Purbaya menyebutkan bahwa permodalan BPR dan BPRS saat ini masih cukup kuat untuk menghadapi risiko peningkatan kredit. Hingga September 2024, rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) tercatat sebesar 31,05% untuk BPR dan 22,52% untuk BPRS.
Namun demikian, ia mengingatkan bahwa tren risiko kredit terus meningkat seiring berakhirnya masa restrukturisasi pada kuartal pertama 2024. “Rasio kredit bermasalah (NPL) dan pembiayaan bermasalah (NPF) masing-masing mencapai 11,72% dan 9,03%. Ini juga berdampak pada rendahnya profitabilitas BPR dan BPRS dengan rasio ROA masing-masing di angka 1,24% dan 1,39%,” pungkas Purbaya.
BPRNews.id - PT Kereta Api Indonesia (KAI) bersama Bank BNI resmi memperkenalkan nama baru Stasiun Dukuh Atas menjadi Stasiun Dukuh Atas BNI, sebagai bagian dari program Naming Rights. Langkah ini bertujuan mendukung layanan transportasi publik yang lebih baik di wilayah Jabodetabek.
"Program Naming Rights adalah strategi memperluas visibilitas merek sekaligus meningkatkan kualitas transportasi publik," ujar Direktur Utama KAI, Didiek Hartantyo, dalam acara peresmian di Jakarta, Rabu.
Menurut Didiek, program ini membuka peluang besar bagi perusahaan untuk memanfaatkan aset transportasi publik sebagai sarana efektif mengenalkan merek kepada masyarakat. "Sebagai operator transportasi massal, kami menjangkau jutaan penumpang setiap tahun. Ini adalah nilai tambah bagi mitra kami untuk menjangkau masyarakat dengan cara relevan," katanya.
Melalui program ini, mitra seperti Bank BNI dapat menempatkan nama merek di berbagai media KAI, mulai dari aplikasi Access by KAI, situs resmi, papan penunjuk arah, peta jalur, pengumuman, hingga media publikasi lainnya.
Program ini juga diharapkan membantu optimalisasi pendapatan KAI melalui komersialisasi aset. Didiek mencontohkan kerja sama serupa yang sudah diterapkan, seperti di Stasiun Pancoran bank bjb dan Stasiun Semarang Tawang Bank Jateng. "Kami terus berkomitmen memanfaatkan aset strategis untuk mendukung pelayanan dan keberlanjutan perusahaan," tambahnya.
Sejak operasional LRT Jabodebek pada 28 Agustus 2023 hingga Oktober 2024, KAI mencatat 21,42 juta pengguna, dengan rata-rata harian 81.327 pengguna di hari kerja. Di Stasiun Dukuh Atas BNI, rata-rata harian pengguna mencapai 17.573 orang, dengan pembagian Tap In sebanyak 9.121 pengguna dan Tap Out sebanyak 8.452 pengguna.
Didiek menyebut tingginya antusiasme masyarakat terhadap moda transportasi ini menunjukkan peluang besar untuk kolaborasi bisnis melalui Naming Rights. Stasiun Dukuh Atas BNI juga dikenal sebagai pusat integrasi transportasi dengan akses ke KA Bandara Soekarno-Hatta, Commuter Line, MRT Jakarta, dan Transjakarta, menjadikannya hub strategis di Jabodetabek.
"Sinergi antara KAI dan Bank BNI ini tidak hanya mendukung pengembangan transportasi publik, tetapi juga membawa manfaat positif bagi kedua belah pihak," tutup Didiek.
BPRNews.id - Bank Indonesia (BI) telah menyalurkan insentif Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) senilai Rp259 triliun hingga akhir Oktober 2024 kepada perbankan yang menyalurkan kredit ke sektor-sektor prioritas. Hal ini diungkapkan oleh Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI di Jakarta pada Rabu, November 2024.
“Insentif KLM ini diarahkan untuk mendukung sektor-sektor prioritas,” ujar Perry.
Dari total insentif tersebut, bank badan usaha milik negara (BUMN) menerima Rp120,9 triliun, bank umum swasta nasional (BUSN) sebesar Rp110,9 triliun, bank pembangunan daerah (BPD) Rp24,7 triliun, dan kantor cabang bank asing (KCBA) memperoleh Rp2,6 triliun.
Sektor-sektor prioritas yang menjadi fokus adalah hilirisasi minerba dan pangan, otomotif, perdagangan, listrik, gas, dan air (LGA), pariwisata, ekonomi kreatif, serta UMKM. Kebijakan KLM sendiri dirancang melalui pengurangan kewajiban giro bank di BI sebagai bagian dari pemenuhan giro wajib minimum (GWM) rata-rata.
“Tujuan utama pemberian insentif ini adalah mendorong peningkatan kredit perbankan dan pertumbuhan ekonomi nasional,” tambah Perry.
Dalam perkembangan lainnya, Perry menyebutkan bahwa transmisi kebijakan moneter berjalan dengan baik. Suku bunga pasar uang (IndONIA) stabil di sekitar BI-Rate, yakni sebesar 6,20 persen per 19 November 2024. Selain itu, suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan pada 15 November 2024 masing-masing tercatat di level 6,79 persen, 6,85 persen, dan 7,07 persen, yang dinilai tetap menarik bagi investor asing.
Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 2 tahun dan 10 tahun juga menunjukkan peningkatan, masing-masing menjadi 6,44 persen dan 6,86 persen, sejalan dengan kenaikan yield US Treasury.
Perry juga menegaskan bahwa likuiditas perbankan tetap memadai berkat implementasi bauran kebijakan BI, termasuk insentif KLM. “Likuiditas yang cukup serta efisiensi dalam penetapan harga perbankan semakin membaik, didukung oleh transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK),” jelasnya.
Per Oktober 2024, suku bunga deposito satu bulan tercatat sebesar 4,73 persen, sementara suku bunga kredit berada di level 9,17 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya