Standard Post with Image
bank umum

Pastikan Sesuai Target, OJK Pede Kredit Perbankan 2024 Tumbuh hingga 11 Persen

BPRNews.id  -  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis bahwa pertumbuhan kredit perbankan hingga akhir tahun 2024 akan tetap sesuai dengan target awal yang dipatok di kisaran 9-11 persen. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyampaikan bahwa hingga Agustus 2024, pertumbuhan kredit perbankan telah mencapai 11,40 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), meningkat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai 9,06 persen. "Kami optimis bahwa pertumbuhan kredit perbankan di 2024 masih sesuai dengan target yang disampaikan oleh OJK pada awal tahun yaitu di kisaran 9-11 persen," ujar Dian pada Jumat, 11 Oktober 2024.

Selain itu, pertumbuhan kredit secara year-to-date (ytd) juga tercatat meningkat sebesar 5,89 persen, lebih tinggi dibandingkan Agustus 2023 yang hanya mencapai 4,92 persen.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, menambahkan bahwa ada empat faktor utama yang menopang pertumbuhan kredit selama Agustus 2024. Menurutnya, perkembangan ini didorong oleh penawaran kredit yang terjaga, pendanaan yang memadai, realokasi likuiditas ke sektor kredit oleh perbankan, dan dukungan insentif kebijakan likuiditas makroprudensial dari BI. Perry menjelaskan bahwa BI telah menyalurkan Rp256,1 triliun dalam bentuk insentif kebijakan likuiditas makroprudensial. Dana ini disalurkan kepada beberapa kelompok bank, termasuk bank BUMN sebesar Rp116,6 triliun, bank swasta nasional Rp110,5 triliun, dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebesar Rp24,4 triliun.

Perry juga mengungkapkan bahwa insentif ini diarahkan ke sektor-sektor prioritas seperti hilirisasi minerba, pangan, UMKM, sektor otomotif, perdagangan, listrik, gas, air, serta pariwisata dan ekonomi kreatif. Pertumbuhan kredit yang mencapai dua digit ini juga didorong oleh permintaan yang tinggi dari korporasi, terutama yang bergerak di sektor padat modal, sementara sektor padat karya dinilai masih memerlukan dorongan lebih lanjut.

Kredit rumah tangga juga menunjukkan pertumbuhan positif, terutama di sektor properti. Jika dilihat dari penggunaannya, pertumbuhan kredit didukung oleh kredit modal kerja, investasi, dan konsumsi. "Kredit modal kerja tumbuh sebesar 10,75 persen (yoy), kredit investasi tumbuh 13,08 persen (yoy), dan kredit konsumsi tumbuh 10,83 persen," jelas Perry.

Standard Post with Image
bank umum

Laba Industri Perbankan Capai Rp171,03 Triliun

BPRNews.id  -  Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa laba industri perbankan di Indonesia mencapai Rp171,03 triliun pada Agustus 2024, tumbuh 6,42% secara tahunan (year-on-year) dibandingkan dengan Agustus 2023. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menjelaskan bahwa mayoritas bank di Indonesia mencatatkan laba hingga Agustus 2024. "Secara umum, industri perbankan tetap menunjukkan performa yang baik dan membukukan laba yang signifikan," kata Dian di Jakarta.

Menurutnya, prospek pertumbuhan perbankan tetap berkelanjutan, terutama dengan adanya kebijakan pelonggaran moneter, termasuk penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) dari 6,25% menjadi 6%. Penurunan ini diperkirakan dapat mengurangi biaya dana, yang menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan perbankan yang lebih kuat.

Dian juga menyebut bahwa upaya bank untuk meningkatkan pencadangan adalah langkah penting dalam mengantisipasi risiko kredit. Pada Agustus 2024, rasio non-performing loan (NPL) terjaga di angka 2,26%, dengan NPL coverage yang mencapai 191,75%. Hal ini merupakan bagian dari langkah mitigasi risiko kredit sesuai dengan Peraturan OJK No. 40/POJK.03/2019, yang mengatur tentang kewajiban bank untuk membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN).

Selain itu, kualitas kredit perbankan tetap stabil, dengan rasio NPL gross di level 2,27% dan NPL nett sebesar 0,79%. Rasio loan at risk (LAR) juga menunjukkan tren penurunan menjadi 10,17%, mendekati level sebelum pandemi yaitu 9,93% pada Desember 2019.

OJK optimistis bahwa kredit perbankan di tahun 2024 masih akan tumbuh sesuai target, di kisaran 9%-11%, didukung oleh pertumbuhan kredit yang mencapai 11,40% (yoy) hingga Agustus 2024. "Kami tetap yakin target pertumbuhan kredit yang disampaikan pada awal tahun akan tercapai," tambah Dian.

Standard Post with Image
BPR

55 BPR dan BPRS di Jabodebek & Banten Belum Penuhi Modal Inti Rp6 Miliar

bprnews.id - Sebanyak 55 entitas, termasuk Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) di wilayah Jabodebek (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi) dan Banten, sedang berupaya memenuhi persyaratan modal inti minimum Rp6 miliar sebelum tenggat waktu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Batas waktu yang diberikan OJK untuk BPR adalah hingga 31 Desember 2024, sedangkan untuk BPRS hingga 31 Desember 2025.

Kepala OJK Jabodebek dan Banten, Roberto Akyuwen, menyatakan bahwa BPR berusaha memenuhi modal inti ini melalui beberapa strategi. Salah satunya adalah dengan pertumbuhan organik, yaitu dengan memanfaatkan pendapatan dari bisnis mereka. Selain itu, ada juga BPR yang memilih jalur anorganik, seperti mendapatkan tambahan modal dari para pemegang saham. "Sebagian lagi akan mencari investor strategis, yaitu pihak eksternal yang masuk sebagai pemegang saham," ungkap Roberto pada acara peluncuran M-Banking BPR Intidana Sukses Makmur, Jumat (11/10/2024).

Selain itu, beberapa BPR memilih untuk melakukan merger atau bergabung dengan BPR lain, baik yang sudah memiliki modal lebih besar maupun yang juga masih berusaha memenuhi ketentuan modal inti. Roberto menambahkan bahwa Bank Pembangunan Daerah (BPD) di setiap provinsi, yang umumnya memiliki kinerja baik dan tata kelola yang sehat, diharapkan dapat berperan sebagai pembina bagi BPR di wilayah masing-masing. "BPD ini sehat secara operasional, memiliki laba, dan manajemen yang cukup baik dalam tata kelola. Diharapkan mereka dapat mulai menjadi pembina atau masuk ke dalam BPR di wilayahnya," ujarnya.

OJK juga terus memantau rencana aksi (action plan) dari setiap BPR dalam upaya mereka memenuhi modal inti minimum. "Saat ini, ada 23 grup di tempat saya yang sedang dalam proses merger," lanjutnya.

Berdasarkan data dari OJK, hingga semester I/2024, pertumbuhan aset, Dana Pihak Ketiga (DPK), dan kredit BPR serta BPRS masih mencatat angka positif, masing-masing tumbuh sebesar 6,19%, 7,01%, dan 6,96% secara year-on-year (yoy). Pertumbuhan ini sejalan dengan perluasan usaha, sebagaimana diamanatkan oleh UU P2SK, yang didukung oleh pemenuhan modal inti minimum Rp6 miliar. Dengan rasio CAR BPR dan BPRS tercatat pada posisi 28,11% pada semester I/2024, hal ini menunjukkan bahwa permodalan mereka cukup kuat dan mendukung akselerasi konsolidasi industri BPR/BPRS sesuai dengan kebijakan single presence dalam POJK No. 7 Tahun 2024.

Standard Post with Image
bank umum

Muhammadiyah Utamakan Pengembangan BPRS Sebelum Bentuk Bank Umum Syariah

 BPRNews.id  - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah saat ini sedang memfokuskan upayanya untuk memperkuat Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) sebelum mempertimbangkan pendirian bank umum syariah (BUS). Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, menyampaikan bahwa meskipun ada keinginan untuk mendirikan bank syariah yang lebih besar, prioritas saat ini adalah memperbaiki dan mengelola lebih dari 20 BPRS yang sudah dimiliki. "Kami sedang berusaha membenahi BPRS yang ada agar bisa berkembang menjadi bank umum syariah," ujarnya saat acara Ijtima Sanawi Dewan Pengawas Syariah 2024 di Jakarta, Jumat (11/10/2024).

Muhammadiyah menyadari bahwa beberapa BPRS memerlukan perbaikan agar bisa berfungsi lebih optimal dan mampu bersinergi. Langkah ini diharapkan tidak hanya meningkatkan layanan bagi nasabah, tetapi juga memperkuat posisi Muhammadiyah di dalam ekosistem perbankan syariah di Indonesia. Dengan menumbuhkan kompetisi yang sehat, Muhammadiyah berharap bisa mempercepat pertumbuhan perbankan syariah yang berkelanjutan dan bermanfaat. Anwar Abbas menekankan bahwa "dengan memperkuat BPRS, kita akan membangun fondasi yang kuat untuk mendukung pembentukan bank syariah besar di masa depan."

Selain itu, Muhammadiyah juga menekankan pentingnya menciptakan kompetisi yang sehat di antara bank-bank syariah di Indonesia. Anwar mengingatkan bahwa dominasi satu bank dapat menimbulkan praktik monopoli yang merugikan nasabah. "Kami ingin semua bank syariah bisa berkontribusi secara maksimal, sehingga nasabah memiliki lebih banyak pilihan dan layanan yang kompetitif," jelasnya.

Sebelumnya, Muhammadiyah telah memutuskan untuk mengalihkan dana dari Bank Syariah Indonesia (BSI) ke bank-bank syariah lainnya, seperti Bank Syariah Bukopin, Bank Mega Syariah, dan Bank Muamalat, yang telah menjalin kerja sama dengan organisasi tersebut. Keputusan ini juga melibatkan instruksi kepada Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) untuk mengikuti langkah tersebut dalam rangka memperkuat bank syariah yang lebih inklusif dan kompetitif.

Standard Post with Image
BPR

Selama 19 Tahun, 10 BPR di Bali Alami Likuidasi

bprnews.id - Sejak LPS mulai beroperasi pada tahun 2005 hingga 22 September 2024, Bali telah mencatatkan pencabutan izin usaha terhadap 10 BPR. Hal ini menempatkan Bali di posisi keempat dengan jumlah bank yang dilikuidasi terbanyak di Indonesia.

Menurut Kepala Kantor Perwakilan LPS II, Bambang S. Hidayat, Jumat (11/10), dari 10 BPR/BPRS yang izinnya dicabut, total simpanan mencapai Rp507,65 miliar dengan jumlah rekening sebanyak 20.898. Dari total tersebut, sebanyak 19.884 rekening atau 95,15 persen dianggap layak bayar, dengan jumlah simpanan senilai Rp277,21 miliar, atau sekitar 55 persen dari total simpanan.

Sementara itu, simpanan yang tidak layak bayar berjumlah Rp230,44 miliar, atau 45 persen, yang mencakup 1.014 rekening atau 5 persen dari total rekening. "LPS telah membayarkan sebesar Rp229,78 miliar dari total simpanan layak bayar sebesar Rp277,21 miliar, setelah memperhitungkan batas maksimum penjaminan LPS sebesar Rp2 miliar, set off terhadap pinjaman, serta hasil penanganan keberatan nasabah yang diterima oleh LPS," jelas Bambang.

Ia juga menambahkan bahwa salah satu alasan simpanan dianggap tidak layak bayar adalah karena tidak ada aliran dana masuk sebesar 0,18 persen dari total simpanan tidak layak bayar. Selain itu, bunga simpanan yang ditawarkan bank lebih tinggi dari tingkat bunga yang dijamin oleh LPS, yang menjadi faktor dominan, mempengaruhi 64 persen dari total simpanan tidak layak bayar.

Bambang melanjutkan bahwa wilayah dengan jumlah bank terbanyak yang dicabut izinnya adalah Jawa Barat dengan 42 bank, disusul oleh Sumatera Barat sebanyak 21 bank, dan Jawa Timur dengan 18 bank. Secara nasional, total BPR/BPRS yang dilikuidasi mencapai 137 bank, terdiri dari satu bank umum, 123 BPR, dan 13 BPRS.

Saat ini, ada 18 BPR/BPRS yang masih dalam proses likuidasi, sementara 119 bank telah selesai proses likuidasinya, terdiri dari 1 bank umum, 107 BPR, dan 11 BPRS.

Tahun 2024 tercatat sebagai tahun dengan jumlah pencabutan izin bank terbanyak sejak tahun 2010, dengan total 15 bank, kecuali tahun 2011. Pada tahun 2010, ada 50 bank yang izinnya dicabut, sementara tahun 2018 menjadi tahun ketiga terbanyak dengan 10 bank yang dilikuidasi, bertepatan dengan krisis mortgage pada saat itu. 

Copyrights © 2024 All Rights Reserved by BPR News